Suara.com - Di saat Indonesia berjuang dengan gerakan bebas pasung, pandemi Covid-19 ternyata memukul mundur gerakan ini.
Sebab, stigma atau pandangan buruk masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) masih sangat kental.
Dari mulai dianggap aib, membahayakan orang sekitar, hingga ketiadaan biaya, sehingga jadilah keluarga pilih solusi memasung korban.
Buktinya Direktur P2MKJN Kemenkes RI dr. Siti Khalimah, SpKJ, MARS membeberkan data kasus pasung meningkat saat pandemi.
Baca Juga: Penjualan Daihatsu Catatkan Peningkatan Meski di Tengah Pandemi Covid-19
"Dari data yang masuk terjadi peningkatan kasus gangguan jiwa, termasuk juga peningkatan kasus pasung dari tahun kemarin, terdata di kami 5.200 tahun ini meningkat menjadi 6.200 kasus," ujar dr. Siti Khalimah dalam acara Webinar Kemenkes RI Hari Kesehatan Jiwa Sedunia, Kamis (1/10/2020).
Menurut dr. Siti peningkatan ini terjadi karena tidak adanya akses layanan kesehatan, mengingat pembatasan sosial saat pandemi Covid-19 berdampak pada perawatan kesehatan jiwa di rumah sakit.
Di saat banyak orang termasuk negara sedang fokus bagaimana cara agar tidak tertular virus dan melindungi keluarga, nasib pasien ODGJ semakin tersisihkan dan kian termakan stigma.
Belum lagi kerentanan pasien ODGJ ini terinfeksi Covid-19 di rumah sakit, karena sistem perawatan masih mengandalkan beberapa pasien dalam satu bangsal.
Sehingga satu orang tertular, maka akan menularkan yang lainnya, itu juga alasan rumah sakit akhirnya membatasi perawatan di awal-awal pandemi.
Baca Juga: Donald Trump dan Istri Positif Covid-19, Ini Pernyataan Resmi Tim Dokter
"Data dari rumah sakit jiwa, ada peningkatan pasien gangguan jiwa yang terinfeksi Covid-19," tutur dr. Siti.
Langkah yang bisa dilakukan pihak rumah sakit jiwa ialah dengan melakukan skrining dan menurunkan tingkat hunian di rumah sakit.
Melihat dampak ini, Kemenkes RI kata dr. Siti sudah menyediakan hotline call center 119 Ext.8 untuk konseling awal. Di sini masyarakat bisa berkonsultasi terhadap apa yang dialami dirinya maupun keluarga, sehingga tahu pertolongan pertama yang dilakukan.
Lewat konsultasi tersebut, nantinya akan diberi saran maupunn diputuskan harus tidajnya mendatangi pakar seperti psikolog atau psikiater.