Suara.com - Obat antidiabetes golongan SGLT2 -- Empagliflozin, dipercaya memiliki manfaat bukan hanya untuk menurunkan kadar gula darah dalam tubuh tetapi juga juga memberikan efek perbaikan pada pasien gagal jantung.
Dijelaskan oleh Prof. dr. Ketut Suastika dari FK Udayana Bali, awalnya SGLT2 adalah obat antidiabetes. Tetapi dalam perkembangan, obat tersebut terbukti tidak hanya bermanfaat menurunkan gula darah, tetapi juga memiliki efek positif lain.
"Obat ini bisa membantu mengeluarkan kelebihan garam melalui ginjal, memperbaiki tekanan darah, dan mengurangi kegemukan, dan banyak efek manfaat lain, termasuk menekan peredangan. Semua itu semua berkontribusi pada perbaikan gejala gagal jantung, baik pada pasien diabetes maupun nondiabetes," jelas Prof. Suas dari siaran pers yang diterima Suara.com, Senin (28/9/2020).
Melalui uji klinis EMPEROR-Reduced Fase III yang diumumkan oleh Boehringer Ingelheim baru-baru ini, menunjukkan ada penurunan kematian akibat kardiovaskular dan penurunan rawat inap karena gagal jantung sebesar 25 persen pada penderita gagal jantung dengan dan tanpa diabetes tipe 2 yang diberikan Empagliflozin.
Baca Juga: Luhut Minta Produksi Obat Covid-19 Dipercepat, Ini Jawaban Terawan
Sebelumnya, pada uji klinis EMPA-REG OUTCOME juga telah ditemukan bahwa Empagliflozin merupakan inhibitor SGLT2 pertama yang menunjukkan penurunan kematian dan rawat inap terkait kardiovaskular akibat gagal jantung pada orang dengan diabetes tipe 2 dan penyakit kardiovaskular yang sudah ada sebelumnya.
Saat ini Empagliflozin merupakan Obat Antidiabetes pertama dengan indikasi kardiovaskular pada pasien dengan diabetes tipe 2, namun belum diindikasikan untuk pengobatan gagal jantung.
Hasil uji klinis ini adalah hal baru, sehingga perlu waktu bagi otoritas lokal di Indonesia untuk menyetujui obat tersebut diindikasikan untuk gagal jantung.
Gagal jantung sendiri bisa dicegah dengan mengendalikan faktor risikonya yaitu hipertensi, penyakit jantung koroner, dan diabetes.
Menurut Dr. Siti Elkana Nauli SpJP, pemilihan obat untuk pasien sejak awal terdiagnosis harus tepat entah itu untuk pasien hipertensi, diabetes, atau penyakit jantung koroner.
Baca Juga: Luhut Minta Bio Farma Percepat Produksi Obat Covid-19, Remdesivir
Jika pasien memiliki faktor risiko gagal jantung, maka kondisi itu bisa dicegah untuk tidak menjadi gagal jantung. dengan memberikan terapi terbaik.
"Mekanisme gagal jantung itu sangat kompleks melibatkan banyak jalur. Meksipun SGLT2 belum diketahui bisa menghambat (proses terjadinya gagal jantung) dari jalur mana, namun dari penelitian terbukti efeknya sangat positif untuk pasien gagal jantung, baik disertai diabetes maupun tanpa diabetes," tambah Siti.
Apabila pasien diabetes, hipertensi maupun penyakit jantung koroner saat terdiagnosis pertama kali sudah memiliki gejala awal gagal jantung, maka pemberian terapi agresif dengan tujuan memperbaiki kualitas hidup diharapkan akan mencegah perawatan rumah sakit berulang.
Dengan begitu, kualitas hidup pasien akan membaik dan tidak berkembang menjadi gagal jantung tahap akhir.
Gagal jantung adalah kondisi di mana fungsi jantung dalam memompa darah sudah tidak maksimal. Darah yang dipompa tidak mampu lagi mencukupi kebutuhan seluruh jaringan tubuh. Akibatnya pasien mengalami gejala seperti mudah lelah dan sesak napas saat beraktivitas.
Di sisi lain, tingkat kesakitan dan kematian pasien gagal jantung juga sangat tinggi, dengan kualitas hidup yang jauh lebih buruk dibandingkan penyakit jantung lainnya.
"Angka harapan hidupnya selama lima tahun hanya sekitar 50 persen saja. Untuk pasien rawat inap, angka kematiannya bahkan lebih tinggi lagi, yakni 17-20 persen akan meninggal dalam waktu 30 hari dirawat," jelas Siti.
Hingga saat ini, terapi standar untuk pasien gagal jantung adalah dengan obat-obatan, pemasangan alat di jantung, dan tranplantasi jantung.
Namun untuk dua terapi terakhir, biayanya sangat tinggi. Pemasangan alat pacu jantung terbaru dan advance seperti left ventricular assist device (LVAD) dan transplantasi jantung bahkan belum tersedia di Indonesia.