Suara.com - Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memprediksi pada 2030 hingga 2040 Indonesia akan mengalami bonus demografi.
Namun, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengatakan, bonus demografi bisa jadi bumerang karena tingginya jumlah penduduk Indonesia yang merokok.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Kementerian Kesehatan (P2PTM) dr. Cut Putri Ariani, MH.Kes mengatakan Indonesia mendapat peringkat sebagai negara dengan perokok terbesar usia anak.
"Kita sebentar lagi akan menghadapi bonus demografi di mana bila diperhatikan usia produktif akan membesarkan bangsa ini, tetapi negara kita disebut sebagai negara julukan the big smokers country (salah satu negara perokok terbanyak), di mana ada anak di bawah usia 5 tahun menjadi perokok," ujar ujar dr. Cut Putri dalam webinar 'Faktor Pengurangan Risiko Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) untuk Penerapan di Indonesia', Senin (28/9/2020).
Baca Juga: Serikat Pekerja Minta Pemerintah Beri Keadilan ke Industri Hasil Tembakau
Bonus demografi adalah kondisi di mana jumlah prenduduk usia produktif antara 15 hingga 64 tahun, lebih banyak dibanding usia tidak produktif di bawah 5 tahun dan di atas 64 tahun.
Dampak dari perokok ini dikhawatirkan bakal merusak bonus demografi yang seharusnya didapatkan Indonesia, mengingat dampak kematian dari merokok adalah penyakit kronik, seperti jantung, diabetes, paru kronik, tuberculosis (TB), stroke hingga kematian.
"Ini datanya didapat Institute for Health Metrics and Evaluation sejak 2020. Kalau dilihat ada 88 dari 100 orang yang meninggal karena rokok. Ini beberapa provinsi (di Indonesia) cukup tinggi, kematian akibat merokok," kata dr. Cut Putri.
"Kalau dikaitkan lagi riwayat merokok di dalamnya, hampir seluruh orang Indonesia saat ini ternyata memiliki perilaku merokok," sambungnya.
Berdasarkan data Bappenas apabila tanpa intervensi, bukannya menurun jumlah perokok bakal terus meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan pada 2030 mendatang angka perokok ditaksir tembus 16 persen dari total penduduk Indonesia.
Baca Juga: WHO: Merokok Tembakau Memicu Penyakit Jantung & Sebabkan 1,9 Juta Kematian
"Sedangkan perokok pada anak semakin meningkat, ini ancaman baru bagi generasi kita," kata dr. Cut.
Bahkan, Cut mengatakan data anak yang stunting, 5,5 persennya disebabkan oleh orangtua yang perokok.
"Anak yang stunting 5,5 persennya disebabkan dari orangtua perokok, hal ini berdasarkan kajian dari Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI)," ujar dr. Cut Putri dalam webinar 'Faktor Pengurangan Risiko Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) untuk Penerapan di Indonesia', Senin (28/9/2020).
Stunting adalah kondisi anak gagal tumbuh baik secara fisik maupun perkembangan otak akibat kekeurangan gizi dalam waktu yang lama.
Lebih lanjut dr. Cut Putri juga mengungkap data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mendapati jika konsumsi keluarga miskin pembelanjaan terbesar kedua setelah beras adalah rokok.
"Jadi artinya orang Indonesia itu lauk pauknya adalah rokok," ungkapnya.
Mirisnya angka itu memperlihatkan bagaimana perokok dari keluarga miskin lebih banyak dibanding perokok pada keluarga kaya, yaitu perokok penduduk miskin 27,3 persen dan 19,5 persen dari penduduk kaya.
Jika selama ini dalih rokok sumber devisa Indonesia, tapi dr. Cut mencatat pendapatan yang didapat negara dibanding rokok tidak sebanding dengan biaya kesehatan yang harus dikeluarkan negara, untuk mengobati rakyatnya yang sakit karena rokok, yakni 3 hingga 4 kali lipat dari pendapatan negara.
"Ini data JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) 2019, ada beberapa penyakit yang disebabkan oleh rokok berhubungan dengan jantung, stroke, dan lain sebagainya. Membuat JKN semakin terbebani penyakit tidak menular. Rokok mengancam secara universal, di mana dana yang cukup besar tersedot," terang dia.