Suara.com - Pemerintah diminta memperbanyak dan meningkatkan kapasitas pelacakan kontak (contact tracing) dari kasus positif Covid-19 terus bertambah.
Menurut pakar epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI), Iwan Ariawan, WHO menyarankan pelacakan terhadap 10-30 orang kontak dekat dari setiap pasien positif Covid-19.
Sementara itu, Jakarta dengan kapasitas yang paling mumpuni di Indonesia baru mampu melacak empat orang dari setiap kasus positif. Rasio pelacakan kontak di daerah-daerah lain, kata Iwan, bisa lebih rendah dari ini.
Menurut Iwan, sumber-sumber penularan virus di masyarakat akan terus muncul tanpa pelacakan kontak yang masif dan efektif.
Baca Juga: LIPI Sebut Kertas di Pilkada Potensi Tularkan Covid, Ini Kata Epidemiolog
Dalam tiga hari terakhir, Indonesia berturut-turut melaporkan rekor kasus baru Covid-19 dengan jumlah lebih dari 4 ribu kasus per hari.
Data terbaru hari ini menunjukkan ada 4.832 kasus baru positif, sehingga total kasus menjadi 266.845 dengan jumlah kasus aktif sebanyak 60.431 orang.
Meski kurva terus menanjak, Iwan mengatakan bahwa Indonesia belum mencapai puncak dari pandemi.
Dia memprediksi jumlah kasus masih bisa bertambah melebihi saat ini karena kapasitas tes terus bertambah, namun pelacakan kontak tidak maksimal.
"Kita belum tahu kapan puncak kasusnya terjadi. Salah satu masalahnya, kita tidak memantau indikator contact tracing," kata Iwan kepada Anadolu Agency.
Baca Juga: PSI Usul Bawa Paku Sendiri ke TPS, Epidemiolog: Lebih Baik Tunda Pilkada
"Tes banyak tidak otomatis bagus, tapi perkara siapa yang dites juga penting. Kalau tes banyak tetapi acak, manfaatnya tidak maksimal," lanjut dia.
Iwan menyarankan agar pemerintah merekrut lebih banyak relawan untuk melakukan pelacakan kontak seperti yang dilakukan oleh beberapa negara, salah satunya Korea Selatan.
Sementara itu, petugas kesehatan yang saat ini terbatas juga berkejaran dengan pergerakan masyarakat yang memunculkan penularan baru.
Penerapan PSBB ketat di Jakarta sejak 14 September 2020 sejauh ini tidak berdampak signifikan pada pergerakan masyarakat di Jabodetabek.
Berdasarkan pemantauan mobilitas penduduk menggunakan Google Mobility, Iwan mengatakan hanya sekitar 50-52 persen masyarakat Jabodetabek yang berada di rumah per 22 September 2020.
Idealnya, setidaknya 55 persen penduduk Jabodetabek harus berada di rumah agar pandemi Covid-19 lebih terkendali.
Hal ini disebabkan oleh penerapan PSBB yang tidak seketat pada April-Mei 2020 lalu. Pemerintah masih mengizinkan kantor beroperasi dengan kapasitas 25 persen dan pusat perbelanjaan masih diizinkan buka.
Dia melanjutkan, pemerintah harus sanggup menyiapkan sistem test and tracing yang memadai jika ingin melonggarkan PSBB.
"Senjatanya cuma ini ditambah dengan protokol kesehatan. Kan tidak mungkin kita mau selamanya PSBB, ekonominya bisa berantakan," tutur dia.