Psikiater Ingatkan Bahaya Supresi, Kebiasaan Sadar Untuk Menekan Emosi

Rabu, 23 September 2020 | 16:36 WIB
Psikiater Ingatkan Bahaya Supresi, Kebiasaan Sadar Untuk Menekan Emosi
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pernahkah Anda mencoba menekan emosi saat sedang merasa kecewa atau kesal? Perasaan tersebut sengaja tidak diluapkan dengan alasan tertentu dan memilih menyembunyikannya.

Kalau begitu, itu artinya Anda sedang melakukan supresi.

Dalam psikologi, supresi diartikan sebagai tindakan yang dipilih secara sadar untuk menutupi pikiran, perasaan atau dorongan terkait perilaku tertentu.

Salah satu perasaan yang seringkali disembunyikan orang adalah marah, kecewa dan kesal.

Baca Juga: Terkenal Plin-plan, Zodiak Ini Gampang Berubah Pikiran, Kamu Termasuk?

"Banyak sebenarnya teknik untuk menekan kemarahan, supresi salah satu yang sering kita pakai," kata psikiater dr. Jiemi Ardian Sp.KJ., dikutip dari kanal YouTube-nya, Rabu (23/9/2020).

Menurutnya, supresi bisa saja baik dilakukan. Namun menjadi masalah jika cara itu jadi satu-satunya yang dilakukan untuk mengendalikan marah.

Sebab jika emosi marah terus ditahan sampai jangka waktu lama dan tidak diselesaikan, tindakan tersebut dapat memicu respon psikologis yang akan mengganggu. Persoalannya, amarah yang ditekan juga tidak kunjung pergi.

"Ada beberapa konsekuensi negatif dari supresi. Ketika menekan marah, kita sedang menyangkal sisi kemanusiaan kita. Kita tidak sedang menerima seutuhnya diri kita," ujar Jiemi.

Ia menegaskan, bukan berarti setiap amarah hanya memiliki dua pilihan untuk ditekan atau dilepaskan. Tetapi yang perlu diperhatikan, kata Jiemi, menyadari sisi bahaya dari selalu menekan rasa marah.

Baca Juga: Patut Dicoba, Game Kocak Ini Cocok untuk Melampiaskan Emosi

Jiemi menyampaiakan, pada penelitian terbaru tahun 2020 disebutkan bahwa terlalu sering menekan emosi bisa berdampak kesulitan memahami perasaan orang lain, terutama perasaan marah.

Pada akhirnya, hal itu dapat berimbas berkurangnya rasa empati.

"Juga bisa berdampak pada perilaku. Ketika kita terlalu sering menekan kemarahan akan menjadi sulit untuk merasakan perasaan tertentu. Sehingga bukannya merasa marah, kita justru merasakan cemas atau malu karena merasa marah," kata dokter yang biasa praktik di Rumah Sakit Siloam Bogor itu.

Menekan perasaan marah juga bisa menghabiskan banyak energi. Menurut Jiemi, kondisi itu akan membuat seseorang sulit fokus dalam keadaan tertentu.

Dari dalam perasaan marah sebenarnya ada pesan yang akan disampaikan, lanjut Jiemi.

Tapi, memahami pesan itu menjadi tantangan tersendiri termasuk bagaimana membangun kesadaran aman terhadap rasa marah, mengelolanya tanpa menekan dan menyampaiakan seadanya.

"Kita perlu meningkatkan kesadaran tentang takut terhadap marah. Karena banyak sekali orang ingin marah tapi takut untuk menyampaiakannya, takut jadi berantem, takut marah sama bos. Sehingga kita tidak merasa aman dengan perasaan marah," ucapnya.

Keterampilan berkomunikasi, menurut Jiemi, jadi kunci dalam melontarkan perasaan marah.

Bukan untuk menekan atau meledakan rasa marah semau sendiri, tapi bagaimana bertanggungjawab dengan emosi yang dirasakan.

"Boleh marah dalam konteks tertentu. Namun terus menerus menekan atau meluapkan seakan tidak memilik kendali itu yang membuat kita sulit kendalikan emosi marah. Perlu keterampilan komunikasi saat marah untuk ekspresikan marah secara welas asih. Tetap disampaikan kebutuhannya bukan hanya ditekan," ujarnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI