Suara.com - Bertentangan dengan ekspektasi orang-orang, ternyata risiko infeksi Covid-19 di antara staf rumah sakit pada puncak pandemi virus corona yang paling rendah adalah dokter perawatan intensif.
Sedangkan risiko paling tinggi ada di antara petugas kebersihan, dokter pengobatan penyakit akut dan umum, serta mereka dari kulit hitam, Asia, dan etnis minoritas.
Hasil ini diketahui dari studi yang dilakukan di salah satu pusat medis utama Inggris, University Hospitals Birmingham NHS Foundation Trust (UHBFT). Studi diterbitkan di jurnal Thorax.
Menurut peneliti, kemungkinan perbedaan ini dasarkan pada pemakaian Alat Pelindung Diri (APD).
Baca Juga: Bukan Cuma Pernapasan, Ini Organ Lain yang Diserang Virus Corona
UHBFT merupakan salah satu perwalian rumah sakit terbesar di Inggris, dengan lebih dari 20.000 karyawan yang merawat 2,2 juta orang setiap tahun.
Penulis utama studi Profesor Alex Richter mengatakan bahwa pada puncak pandemi, ada lima pasien Covid-19 serius dirawat setiap jamnya.
Pada saat studi dilakukan, tidak ada kapasitas untuk pengujian staf NHS (layanan kesehatan Britania Raya), jadi tidak ada cara untuk mengetahui siapa yang terinfeksi. Hal ini berisiko menularkannya kepada pasien, atau siapa yang sudah terkena infeksi.
Untuk mengetahuinya, peneliti menawarkan menguji staf rumah sakit yang tidak memiliki gejala Covid-19. Mereka mengetes 545 staf dalam 20 jam.
Setelah dianalisis, hampir 2,5 persen (13 dari 545) staf tanpa gejala dinyatakan positif SARS-CoV-2. Dari jumlah tersebut, sebanyak 38 persen (5) kemudian mengembangkan gejala Covid-19.
Baca Juga: Mengenal Sel T, Bagian Sistem Imun yang Bisa Tangkal Virus Corona
Sedangkan sekitar 26 persen (136) dari 516 sampel serum yang tersedia menunjukkan orang-orang ini memiliki gejala yang sesuai dengan infeksi Covid-19.
Staf yang mengalami gejala sebelumnya lebih mungkin memiliki antibodi dibandingkan mereka yang tidak bergejala.
Ketika para peneliti melihat angka berdasarkan area staf, perbedaan yang meycolok dalam hal positif antibodi muncul.
Petugas pemberih memiliki antibodi tertinggi, disusul dokter yang bekerja dalam pengobatan penyakit akut, atau penyakit dalam umum.
Antibodi terendah ditemukan di antara staf yang bekerja di pengobatan perawatan intensif, pengobatan darurat dan bedah umum, lapor Medical Express.
Ada juga perbedaaan etnis, pekerja dengan latar belakang etnis minoritas hampir dua kali lebih mungkin terkena infeksi daripada staf kulit putih.
"Kami memperkirakan pekerja perawatan intensif akan berada pada risiko tertinggi. Tetapi pekerja di ICU relatif terlindungi dengan baik dibandingkan dengan bagian lain," jelas Richter.
Menurutnya, penyebab hal ini adalah multifaktorial, seperti penggunaan APD yang ditingkatkan kualitasnya.
"Termasuk pemakaian respirator filtering facepiece respirator (kelas 3). Sebaliknya, masker bedah tahan cairan direkomendasikan di area klinis lain," sambungnya.
Ini adalah studi observasi, dan tidak semua peserta memberikan semua informasi yang diminta. Juga, tidak diketahui apakah infeksi tanpa gejala di antara staf membuat pasien rumah sakit berisiko.