Suara.com - Ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia dr. Syahrizal Syarif berpendapat bahwa ancaman terbesar dalam upaya penanganan pandemi dan memperlambat laju penularan Covid-19 adalah aspek perilaku masyarakat.
Ia menyampaikan bahwa aturan PSBB sebenarnya berfungsi untuk mengatur lingkungan dengan harapan mengurangi pergerakan setiap orang untuk saling bertemu.
"Memang PSBB mengurangi potensi orang bertemu. Tapi yang penting probabilitas, kalau orang sakit ketemu orang sehat berapa probabilitas dia tertular. Problem di kita, masyarakat transmisi lokal tidak terkendali," kata Syarif saat dihubungi suara.com beberapa waktu lalu.
Artinya, lanjut Syarif, banyak jumlah orang berpotensi menularkan ke orang lain namun tidak diketahui. Kondisi itu kemungkinan besar terjadi pada pasien presimptomatik atau orang yang terkonfirmasi positif Covid-19 namun tidak terlihat sakit, tapi beberapa hari setelah lakukan tes baru akan muncul gejalanya.
Baca Juga: Epidemiolog UI: PSBB Bisa Tekan Laju Penularan Covid-19, Asalkan...
"Orang begini yang biasanya potensi menularkannya jauh lebih besar. Maksud saya, saat ini ancaman paling besar aspek perilaku. Terutama saat kita merasa aman berada dengan orang-orang yang kita anggap aman," katanya.
Di sisi lain, penanganan Covid-19 juga dinilai belum optimal. Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UI itu mengkritik bahwa penulusuran kontak pasien positif Covid-19 belum dilakukan dengan baik oleh pemerintah Indonesia.
Berdasarkan anjuran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kata Syarif, seharusnya satu orang yang terkonfirmasi positif virus corona harus ditelusuri minimal 30 orang yang pernah lakukan kontak.
"Saat ini kita baru 4 sampai 5 orang yang baru kita telusuri. Spesimen juga baru 33 ribu. Kita setiap minggu harusnya mampu periksa 260 ribu. Karena penduduk kita 260 juta. Kita baru mampu 30 ribuan, dikali 7 hari baru 210 ribu. Paling tidak pemeriksaan spesimen harus bisa mencapai 40 ribuan per hari," paparnya.
Baca Juga: DKI Jakarta Terapkan PSBB, Pengusaha Jateng Gelisah