Suara.com - Rumor, stigma, dan teori konspirasi tentang Covid-19 tengah beredar di 87 negara, termasuk Indonesia, dan penjelasannya terbagi dalam 25 bahasa yang berbeda.
Sayangnya, penyebaran informasi salah ini telah mengakibatkan kematian dan cedera serius, menurut studi baru yang dilakukan oleh ilmuwan dari berbagai institusi di Bangladesh, Autralia, Thailand, dan Jepang.
Studi yang terbit pada Senin (10/8/2020) dalam jurnal American Journal of Tropical Medicine and Hygiene ini melibatkan analisis rumor, stigma, dan teori konspirasi terkait virus corona Covid-19.
Baik yang diunggah ke media sosial, media daring, dan situs web lain antara 31 Desember 2019 hingga 5 April 2020.
Baca Juga: Kasus Covid-19 Meningkat, Selandia Baru dan Australia Tunda Travel Bubble
Dilansir CNN, peneliti telah mengidentifikasi 2.311 laporan dan mereka menemukan 89 persen diklasifikasikan sebagai rumor, 7,8 persen adalah teori konspirasi, serta 3,5 persen sebagai stigma.
Contoh laporan yang termasuk rumor seperti "minum pemutih dapat membunuh virus" dan "telur unggas terkontaminasi virus corona".
Untuk stigma, seperti "setiap penyakit datangnya dari China", dan "ini adalah senjata biologis yang didanai oleh Bill & Melinda Gates foundation untuk meningkatkan penjualan vaksin" adalah teori konspirasi.
Menurut peneliti, sebagian besar rumor, stigma, dan teori konspirasi diidentifikasi dari India, Amerika Serikat, China, Spanyol, Indonesia, dan Brasil.
Analisis menunjukkan, 24 persen dari laporan secara keseluruhan tentang Covid-19, kematian, dan penularan virus corona.
Baca Juga: Tak Pakai Masker saat Liputan, Jubir Covid-19 Hukum Jurnalis Push-up
Sebanyak 21 persen terkait usaha pengendalian dari pakar dunia, 19 persen tentang pengobatan atau cara penyembuhannya, 15 persen tentang penyebab penyakit serta asal-usul virus, satu persen tentang kekerasan, dan 20 persennya dianggap lain-lain.
Informasi yang salah seperti itu dapat menyebabkan cedera dan kematian, kata peneliti.
"Menyusul kesalahan informasi ini, sekitar 800 orang telah meninggal, sebanyak 5.876 telah dirawat di rumah sakit dan 60 telah mengembangkan kebutaan total setelah minum metanol sebagai obat untuk virus corona," tulis peneliti.
Studi ini memiliki beberapa keterbatasan, termasuk data yang hanya berasal dari platform daring yang tersedia untuk umum. Jadi, peneliti menduga sebenarnya masih banyak informasi salah di luar sana.