Suara.com - Transplantasi menjadi terapi paling ideal bagi pasien penyakit gagal ginjal tahap akhir (PGTA). Dalam bidang kedokteran, transplantasi ginjal bisa menggunakan donor hidup atau donor kadaver (mayat yang diawetkan)
Meski demikian, hingga saat ini Indonesia hanya menggunakan transplantasi dari donor hidup. Meski ideal bagi pasien, tranplantasi seperti itu sebenarnya juga memiliki risiko kesehatan bagi si pendonor.
Dokter spesialis penyakit dalam Dr. dr. Maruhum Bonar H. Marbun menjelaskan, pasca tindakan donor, fungsi ginjal yang tersisa akan menurun selama beberapa hari.
Namun kondisinya akan kembali meningkat sampai 70 persen setelah ginjal sisa berhasil beradaptasi. Mengembalikan fungsi ginjal yang tersisa untuk kembali normal itu disebut sebagai proses Hiperfiltrasi.
Baca Juga: Makin Ngeri, Pasien Covid-19 Kini Alami Masalah Ginjal Akut
"Hiperfiltrasi yang berhasil mengembalikan fungsi ginjal donor disebut hiperfiltrasi adaptif. Sebaliknya, hiperfiltrasi yang tidak berhasil mengembalikan fungsi ginjal disebut sebagai hiperfiltrasi maladaptif," jelasnya dalam sidang virtual promosi gelar Doktor di Universitas Indonesia, Senin (10/8/2020).
Jika pendonor mengalami hiperfiltrasi maladaptif, lanjutnya, bisa berisiko mengalami gangguan ginjal akut kemudian menjadi gangguan ginjal kronik.
Sayangnya, sejauh ini mekanisme yang menjelaskan proses hiperfiltrasi masih belum diketahui.
Dari penelitian yang dilakukannya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo selama April - Desember 2019, Maruhum mendapati bahwa 47,5 persen pendonor ginjal mengalami hiperfiltrasi maladaptif.
Angka itu berdasarkan 40 pendonor ginjal di RSCM yang bersedia menjadi responden penelitian. Menurut Maruhum, kondisi hiperfiltrasi maladaptif bisa dihindari tanpa harus mengonsumsi obat-obatan.
Baca Juga: Connie Culp, Penerima Transplantasi Wajah Pertama di AS Meninggal Dunia
"Terdapat beberapa cara mengurangi risiko tanpa obat-obatan. Pertama menurunkan berat badan maka sel lemak akan berkurang sehingga menurunkan sitokin proimflamasi dan akan menghambat arteriosklerosis," paparnya.
Cara kedua, yakni cukup dengan mengatur pola makan dengan banyak konsumsi sayur dan buah.
Maruhum menjelaskan bahwa tingginya kadar fiber pada sayur akan menurunkan reaksorbsi lipit dan menghambat arteriosklerosis atau penyempitan dan pengerasan pembuluh darah.
Sedangkan buah-buahan banyak mengandung antioksidan yang mampu mengambat terbentuknya ros yang berperan dalam kerusakan podosit.
"Sehingga dengan makan buah dan sayur kerusakan membran filtrasi akan dihambat dan mencegah penurunan ginjal. Prinsipnya, di luar terapi farmafologi, pola hidup yang baik jadi poin penting untuk mempertahankan fungsi ginjal," tambahnya.
Penelitian yang ia lakukan didapatkan usia rata-rata pendonor yaitu 45.85 tahun dan 67,5 persen berjenis kelamin wanita.
Jumlah donor yang memiliki hubungan keluarga sebesar 45 persen. Sementara 47,5 persen pendonor mengalami hiperfiltrasi maladaptif 30 hari setelah operasi.
Fungsi ginjal donor yang dinilai dengan LFG terlihat berbeda bermakna sejak hari praoperasi sampai dengan hari ke 30 pasca operasi antara kedua kelompok.