IDI Tegaskan Tidak Ada Uji Klinis Antibodi Covid-19 Ciptaan Hadi Pranoto

Minggu, 02 Agustus 2020 | 17:07 WIB
IDI Tegaskan Tidak Ada Uji Klinis Antibodi Covid-19 Ciptaan Hadi Pranoto
Hadi Pranoto (Screenshot YouTube dunia MANJI)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menegaskan bahwa klaim terhadap obat apa pun, termasuk untuk Covid-19, harus melalui tahapan uji klinis. 

Pernyataan itu sekaligus menyanggah klaim seorang yang mengaku sebagai ahli mikrobiologi bernama Profesor Hadi Pranoto.

Melalui kanal YouTube Dunia MANJI, Hadi mengatakan ia telah menciptakan obat herbal antibodi Covid-19 dan telah mendistribusikan 250 ribu obat tersebut ke Sumatera, Jawa, Kalimantan hingga Bali.

Ia bahkan mengatakan antibodi Covid-19 yang ia buat berhasil menyembuhkan sakit Covid-19 dan juga berguna untuk mencegah infeksi virus corona jenis baru tersebut.

Baca Juga: 3 Hal yang Diprediksi Akan Mengubah Tren Wisata di Era Covid-19

"Tidak peduli siapa pun yang bicara, mau dokter, profesor, dokter hewan, atau pun dukun, kalau mau mengklaim suatu apakah herbal atau jamu bermanfaat untuk menyembuhkan penyakit apa pun, baru bisa dipercaya setelah melewati berbagai tahapan," kata Ketua Satgas Kewaspadaan dan Kesiagaan Covid-19 dari IDI Prof Dr Zubairi Djoerban kepada Suara.com, Minggu (2/8/2020). 

Menurut Zubairi, obat yang diklaim Hadi Pranoto belum menjalankan tahapan uji klinis. 

"Sepertinya belum memiliki syarat itu. Saya tidak mendengar ada uji pada hewan atau pun uji klinik," ucapnya.

Ia menjelaskan bahwa tahapan pembuatan obat harus melewati fase pertama yaitu uji pra klinik yakni penelitian mengenai zat kimia aktif yang terkandung dalam obat tersebut. Setelah itu dilakukan uji coba obat kepada hewan. 

"Kalau diuji ke binatang tidak mati dan mungkin berguna, maka masuk berikutnya uji klinik pada manusia. Itu bisa fase 1, fase 2, fase 3, fase 4 kemudian diijinkan beredar. Sesudah beredar pun harus diawasi jangka panjang apakah memiliki dampak buruk apa tidak," jelasnya.

Baca Juga: Polisi Dikarantina Usai Diludahi Pria dengan Covid-19

Ia menegaskan, lembaga kesehatan, akademisi, atau pun pemerintah harus melakukan tahapan uji klinis itu jika akan mengeluarkan obat.

Menurut Zubairi, pengujian obat bisa saja gagal di tengah-tengah tahapan. 

"Misalnya, vaksin (Covid-19) sekarang sudah masuk uji klinik fase 3, itu belum tentu berhasil walaupun sudah uji hewan, uji klinik tahap 1 dan 2 bagus, sekarang uji klinik tahap tiga belum tentu berhasil. Dan biasanya yang berhasil tidak banyak, sekarangkan yang beredar ada empat," ucapnya.

"Kami di kedokteran baru bisa percaya, bisa dipakai kalau, selain uji tes tahap tiga tapi juga diuji di berbagai negara hasilnya sama," tambah Zubairi. 

Selain itu, untuk mempertegas klaim obat tersebut, Zubairi mengatakan penemuan perlu ditulis pada jurnal kedokteran. Pun ketika ada klaim obat tersebut telah tersebar sebanyak 250 ribu dan telah berhasil menyembuhkan pasien Covid-19.

"Bukan hanya diomongin, tidak hanya sampling yang bagus. Metode penelitian betul atau tidak. Jadi semua mengenai obat atau pun vakskn harus ada bukti tertulis di majalah yang terakreditasi," ujarnya. 

Sementara itu, Kementerian Kesehatan sendiri enggan memberi tanggapan mengenai klaim obat tersebut.

Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes sekaligus mantan Jubir Gugus Tugas Covid-19 Achmad Yurianto saat dihubungi suara.com menolak memberikan komentar.

"Maaf saya gak mau komen masalah gak jelas ini," ujarnya melalui pesan singkat.
 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI