Menurut Zubairi, pengujian obat bisa saja gagal di tengah-tengah tahapan.
"Misalnya, vaksin (Covid-19) sekarang sudah masuk uji klinik fase 3, itu belum tentu berhasil walaupun sudah uji hewan, uji klinik tahap 1 dan 2 bagus, sekarang uji klinik tahap tiga belum tentu berhasil. Dan biasanya yang berhasil tidak banyak, sekarangkan yang beredar ada empat," ucapnya.
"Kami di kedokteran baru bisa percaya, bisa dipakai kalau, selain uji tes tahap tiga tapi juga diuji di berbagai negara hasilnya sama," tambah Zubairi.
Selain itu, untuk mempertegas klaim obat tersebut, Zubairi mengatakan penemuan perlu ditulis pada jurnal kedokteran. Pun ketika ada klaim obat tersebut telah tersebar sebanyak 250 ribu dan telah berhasil menyembuhkan pasien Covid-19.
Baca Juga: 3 Hal yang Diprediksi Akan Mengubah Tren Wisata di Era Covid-19
"Bukan hanya diomongin, tidak hanya sampling yang bagus. Metode penelitian betul atau tidak. Jadi semua mengenai obat atau pun vakskn harus ada bukti tertulis di majalah yang terakreditasi," ujarnya.
Sementara itu, Kementerian Kesehatan sendiri enggan memberi tanggapan mengenai klaim obat tersebut.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes sekaligus mantan Jubir Gugus Tugas Covid-19 Achmad Yurianto saat dihubungi suara.com menolak memberikan komentar.
"Maaf saya gak mau komen masalah gak jelas ini," ujarnya melalui pesan singkat.
Baca Juga: Polisi Dikarantina Usai Diludahi Pria dengan Covid-19