Suara.com - Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, angka stunting di Indonesia mulai turun dari 37 persen pada 2013 menjadi 30,8 persen pada 2018.
Hasil ini tentu saja sejalan dengan SSGBI (Survei Status Gizi Balita Indonesia) 2019, yang menemukan angka stunting sebesar 27,7 persen.
Meski angka stunting mulai turun, namun itu tetap berarti bahwa 3 dari 10 balita Indonesia masih menderita stunting.
Melalui buku yang diterbitkan oleh World Bank, Aiming High: Indonesia’s Ambitions to Reduce Stunting memaparkan, bila Indonesia tidak melakukan apa-apa hingga tahun 2022, Indonesia masih akan berkutat dengan angka stunting di kisaran 28 persen.
Baca Juga: Pandemi Covid-19, Kasus Stunting di Kabupaten Dharmasraya Meningkat
Namun dengan strategi yang baik, angka stunting bisa ditekan hingga di bawah 22 persen pada 2022.
Karena itu, perlu upaya keras agar target pemerintah menurunkan angka stunting di bawah 20% pada 2024 bisa tercapai.
Salah satu upaya krusial yang dibutuhkan yakni komunikasi perubahan perilaku. Ini juga yang menjadi topik diskusi daring bersama Tanoto Foundation hari ini, Rabu (29/7/2020) kemarin.
Senior Technical and Liasion Adviser Early Childhood Education and Development Tanoto Foundation,
Widodo Suhartoyo mengungkapkan, 70 persen penyebab stunting disebabkan oleh hal-hal di luar kesehatan dan gizi.
Termasuk di antaranya sanitasi, lingkungan, perilaku. Namun secara spesifik, 30 persen permasalahan stunting disebabkan oleh perilaku yang salah.
Baca Juga: Hari Anak Nasional, 28 dari 100 Bocah di Indonesia Masih Alami Stunting
"Karenanya, perubahan perilaku menjadi hal yang sangat penting dalam upaya pencegahan stunting," ujarnya.