Suara.com - Pandemi virus corona atau Covid-19 ternyata juga berdampak pada upaya menghapus perkawinan anak di seluruh dunia. Selama pandemi, diprediksi terjadi 13 juta perkawinan anak akibat pandemi.
Prediksi ini disampaikan lembaga PBB, UNFPA (United Nations Population Fund) yang konsen terhadap pernikahan anak. Menurut UNFPA 13 juta perkawinan anak ini terjadi dalam rentang waktu 2020 hingga 2030 karena pandemi.
Di sisi lain data Sensus Nasional (Susenas) 2018 menunjukkan masih tingginya proporsi perkawinan anak di Indonesia, yaitu 1 dari 9 anak menikah belum cukup umur. Sedangkan aturan baru dari UU Nomor 16 Tahun 2019, telah menetapkan batas perkawinan menjadi 19 tahun baik laki-laki dan perempuan.
"Namun, UU ini tidak akan berarti tanpa adanya komitmen bersama untuk mengimplementasikannya. UU ini diharapkan tidak sekedar menjadi payung hukum tapi juga efektif dalam menurunkan angka perkawinan anak di Indonesia,” ujar Menteri PPPA, Bintang Puspayoga dalam acara Diskusi Publik 'Urgensi Penegakan Hukum dalam Penanganan Masalah Perkawinan Anak di Indonesia', Jumat (24/7/2020).
Baca Juga: Diminta Karantina Malah Joget, Selebgram Diamankan Polisi
Menteri Bintang menyebut KemenPPPA akan memfokuskan kinerjanya di 20 provinsi dengan kasus perkawinan terbanyak secara nasional. Program pendidikan ini akan diawali di 9 provinsi. Bersatunya pemerintah pusat hingga desa sangat dibutuhkan, mengingat kasus terbesar perkawinan anak terjadi di daerah perdesaan.
Mirisnya kesaksian Ketua Sekolah Perempuan Desa Sukadana sekaligus anggota MKD Lombok Utara, Saraiyah menemukan saat pandemi ini dalam waktu satu minggu telah ditemukan 4 kasus perkawinan anak.
Padahal Saraiyah sudah berjuang dengan mempengaruhi keputusan Majelis Adat setempat, dan turun langsung ke pelosok. Fenomena ini seolah membuat kerja kerasnya seperti sia-sia.
“Musyawarah hanya basa-basi karena akhirnya mereka menikah juga. Saya ingin semua pelaku perkawinan anak ini diberikan efek jera, dijerat hukum yang berlaku," tegas Saraiyah.
Harapan Saraiyah, ia dan orang-orang yang sama sepertinya tidak dipermainkan oleh musyawarah adat penduduk desa ini. Pelaku, termasuk orangtua anak perlu diberikan hukuman yang tegas, sehingga anak tetap bisa bersekolah hingga ia boleh menikah di usia 19 tahun.
Baca Juga: Peneliti Ciptakan Virus Corona 'Baru' di Laboratorium AS, Apa Tujuannya?
Sedangkan Ririn Hayudiani, aktivis di wilayah dengan banyak kasus perkawinan anak mengungkap, pada 2019 saja ada 782 remaja di Lombok Utara dan 534 remaja di Lombok Timur menikah dan memeriksakan kehamilan pertama di usia 13 hingga 17 tahun.