Memahami Proses Pembuatan Vaksin

Vania Rossa Suara.Com
Kamis, 23 Juli 2020 | 20:43 WIB
Memahami Proses Pembuatan Vaksin
Ilustrasi vaksin Covid-19. [Shutterstock]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Saat ini, dunia tengah menantikan kemunculan vaksin Covid-19. Diharapkan, vaksin ini dapat menghentikan wabah virus corona yang telah menjangkiti jutaan penduduk dunia. Tentu saja butuh penantian yang panjang, mengingat proses pembuatan vaksin yang amat rumit.

Vaksin merupakan zat atau senyawa yang berfungsi untuk membentuk kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit.

Dalam laman Badan Kesehatan Dunia (WHO) disebutkan vaksin penting untuk pencegahan dan pengendalian wabah penyakit menular. Vaksin mendukung keamanan kesehatan global dan akan menjadi alat vital dalam pertempuran melawan resistensi antimikroba.

Pemberian vaksin bertujuan untuk mencegah terjangkit penyakit, termasuk Covid-19. Itu sebabnya, saat ini berbagai pihak di dunia sedang berlomba menciptakan vaksin Covid-19.

Baca Juga: Terdepan Pembuatan Vaksin Covid-19, Saham Dua Perusahaan Ini Meroket

Tentu saja itu bukan proses yang mudah. Ada proses panjang dan berliku sebelum vaksin dapat digunakan oleh masyarakat luas.

Proses Panjang Pembuatan Vaksin

Dikutip dari Antara, Kamis (23/7/2020), Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Laksana Tri Handoko menuturkan panjangnya proses pembuatan vaksin sampai akhirnya dapat dilepas di pasar atau digunakan oleh masyarakat luas.

"Proses penemuan kandidat vaksin di laboratorium juga tidak mudah, karena proses riset dan pengembangan yang benar-benar mendalam dan kompleks," kata Handoko kepada Antara, di Jakarta.

Setelah ditemukan kandidat vaksin, masih ada serangkaian tahapan pengujian, seperti uji in vivo pada hewan, uji klinis tahap I, II dan III, skala produksi, hingga akhirnya imunisasi.

Baca Juga: Trump Ingin Jadi Orang Pertama yang Dapat Vaksin Corona, Ini Alasannya

"Pengalaman menunjukkan vaksin itu bisa (ditemukan) belasan tahun, dan belasan tahun juga bisa tidak terjadi apa-apa, tidak muncul juga," ujarnya.

Pertama-tama, kandidat vaksin akan diujikan pada hewan. Jika tidak berhasil, maka akan dilakukan formulasi ulang hingga mendapatkan vaksin yang benar-benar efektif merangsang respons imun.

Setelah teruji secara in vivo, maka dilanjutkan uji klinis pada manusia yang mencakup tiga tahap, yakni tahap I, tahap II, dan tahap III.

Berdasarkan informasi dari Badan kesehatan Dunia, vaksin harus melalui berbagai uji keamanan, efikasi, dan berbagai uji klinis terhadap kemungkinan munculnya efek samping, cara pencegahannya, dan cara penanganannya jika efek samping muncul.

Uji klinis adalah studi sistematik terhadap berbagai intervensi medis yang dilakukan pada manusia untuk melihat efektivitas dan efek samping yang mungkin ditimbulkan dari pemberian vaksin.

Dalam uji klinis, dipelajari juga absorpsi, distribusi, metabolisme,dan ekskresi dari bahan farmasi yang dimasukkan ke dalam tubuh manusia agar didapat informasi tentang efikasi dan keamanan dari produk farmasi tersebut.

Pada uji klinis fase I, dilakukan uji keamanan dan imunogenisitas vaksin pada beberapa orang yang berisiko rendah, umumnya orang dewasa muda yang sehat, untuk menguji tolerabilitas terhadap vaksin.

Uji klinis fase II dimaksudkan untuk memantau keamanan vaksin, potensi munculnya efek simpang, respons imun, menentukan dosis optimal, dan jadwal pemberian vaksinasi.

Uji klinis fase III bertujuan untuk melihat efikasi vaksin dalam mencegah penyakit yang ditargetkan dan pengamatan lebih jauh tentang keamanan vaksin dengan melibatkan populasi yang lebih beragam dan jangka waktu yang lebih panjang.

Setelah uji klinis fase III selesai, maka barulah dibuat surat permohonan izin edar vaksin tersebut kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan dengan melengkapi seluruh persyaratan.

Dan begitu vaksin beredar di masyarakat, vaksin akan terus menerus diamati, baik terkait potensi, keamanan, dan kemungkinan terjadinya kejadian medis yang tidak diinginkan.

Pengembangan Vaksin Merah Putih

Dalam menghadapi pandemi Covid-19, Indonesia berupaya untuk mendapatkan vaksin dengan dua cara, yakni mengembangkan vaksin secara mandiri dan bekerja sama dengan pihak luar negeri.

Menteri Riset dan Teknologi (Menristek)/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bambang Brodjonegoro mengatakan ada tiga platform pengembangan vaksin yang diupayakan Indonesia, yakni vaksin protein rekombinan, vaksin DNA atau mRNA, dan vaksin yang dilemahkan atau dimatikan.

Menristek tidak ingin Indonesia hanya menjadi lahan uji klinis atau pasar vaksin, sehingga harus ada kemandirian bangsa melalui pengembangan vaksin Merah Putih berbasis protein rekombinan.

Lembaga Biologi Molekuler Eijkman sedari awal sudah fokus dan memimpin di pengembangan vaksin untuk platform protein rekombinan.

Sementara pengembangan vaksin dari virus dilemahkan akan dilakukan melalui kerja sama PT Biofarma dan perusahaan biofarmasi asal China, Sinovac Biotech Ltd.

Calon vaksin dari China itu telah tiba di Indonesia pada Minggu (19/7), dan rencananya akan diuji klinis tahap III di Bandung pada Agustus 2020.

Kemudian, Kalbe Farma dan Korea Selatan serta peneliti Indonesia akan bekerja sama untuk vaksin mRNA.

Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio mengatakan progres pengembangan vaksin Merah Putih adalah sekitar 20-30 persen.

"Protein itu kita sintetis, artinya kita bikin di laboratorium dengan teknik kloning berdasarkan informasi dari virus yang ada di Indonesia," kata Amin.

Progres 20-30 persen bersifat krusial karena merupakan pondasi dari pengembangan vaksin protein rekombinan.

Eijkman menargetkan bibit vaksin potensial didapat pada 2021 atau dalam waktu kurang lebih 12 bulan sejak pertengahan Maret 2020.

"Insya Allah Eijkman bisa menyelesaikan tugas Eijkman dalam waktu kurang dari 12 bulan, setelah itu akan diteruskan oleh industri," ujarnya.

Eijkman terus melakukan pengurutan genom virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 untuk mengidentifikasi virus yang bersirkulasi di Indonesia, karena vaksin Merah Putih yang dikembangkan akan spesifik berdasarkan informasi virus yang ada di Indonesia.

Protein rekombinan itu akan diujikan pada hewan dengan cara disuntikkan pada hewan berukuran kecil dan hewan berukuran besar. Dari proses itu, akan dilihat apakah protein rekombinan itu bisa merangsang respons imun tubuh.

Jika hasilnya sudah bagus, maka Eijkman akan menyerahkan bibit vaksin itu kepada industri untuk dilakukan pengembangan lebih lanjut.

"Eijkman sampai laboratorium scale. Artinya, kita hanya menghasilkan bibit vaksin saja. Proses selanjutnya diteruskan oleh industri," ujarnya.

Eijkman menganggap saat ini vaksin protein rekombinan paling aman dan dapat diandalkan karena bukan bersifat virus yang dilemahkan atau dimatikan.

Amin menuturkan, pada vaksin dengan virus yang dilemahkan atau dimatikan, maka harus melakukan pembiakan virus dalam jumlah besar, dan itu dinilai mengandung risiko yang cukup tinggi, seperti risiko kontaminasi dan kebocoran karena virus hidup harus dikembangbiakkan dulu baru kemudian dimatikan atau dilemahkan.

Sementara vaksin DNA/RNA memiliki kelemahan karena membutuhkan sistem pengantaran. Artinya DNA/RNA harus dipastikan bisa masuk ke dalam sel, sehingga sel menghasilkan protein antigen, yang kemudian merangsang sistem kekebalan tubuh adaptif untuk menghasilkan antibodi terhadap patogen.

"Kalau dia tidak berhasil masuk ke dalam sel, walaupun sudah disuntikkan, maka tidak terjadi apa-apa," ujar Amin.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI