Bayang Kekerasan Seksual Anak di Tengah Pandemi Virus Corona Covid-19

Kamis, 23 Juli 2020 | 07:05 WIB
Bayang Kekerasan Seksual Anak di Tengah Pandemi Virus Corona Covid-19
Ilustrasi anak korban kekerasan seksual. (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Tidak hanya virus corona atau Covid-19 yang mengancam anak di masa pandemi. Kasus kekerasan juga masih membayangi hari-hari banyak anak di Indonesia semasa pandemi. 

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak atau KemenPPPA mencatat hampir 2 ribu anak menjadi korban kekerasan seksual selama pandemi Covid-19.

Tepatnya, 1.962 anak menjadi korban kekerasan seksual. Angka ini menunjukkan kekerasan seksual mendominasi dari semua kasus kekerasan pada anak dengan total 3.297 kasus.

Ilustrasi kekerasan seksual (Shutterstock).
Ilustrasi kekerasan seksual pada anak (Shutterstock).

Asisten Deputi Bidang Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi, Valentina Gintings, mengatakan ini hanyalah kasus yang terlapor atau mengadu. Sedangkan mereka yang tidak berani berbicara atau melapor seumpama gunung es, di mana jumlahnya lebih banyak dari ini.

Baca Juga: Benarkah Anak Korban Kekerasan Seksual Berpotensi Jadi Pelaku Saat Dewasa?

"Sebenernya data dari lapangan, data yang melaporkan kasus itu ke pelayanan kita, dari tingkat kabupaten sampai tingkat provinsi. Kalau dia nggak melaporkan, makanya kita selalu bilang fenomena gunung es itu" ujar Valentina saat dihubungi suara.com beberapa waktu lalu.

Meski tidak bisa secara tegas menyatakan kekerasan pada anak selalu meningkat, tapi berdasarkan hasil survei prevalensi atau diperkirakan 2 dari 3 anak telah mengalami kekerasan. Ini angka yang sangat tinggi, bahkan diprediksi lebih 75 persen anak mengalaminya.

"Kita lakukan survei pengalaman hidup anak dan remaja itu kan sudah terlihat 2 dari 3 anak, usia 13 hingga 17 tahun, respondennya pernah mengalami salah satu bentuk kekerasan," ungkapnya.

Harusnya lebih banyak di rumah jadi saat terbaik untuk berkumpul bersama keluarga. Tapi orangtua tetap bekerja meski di rumah, dan kesibukan itulah yang akhirnya jadi peluang anak menjadi korban kekerasan saat mereka belajar di rumah. Ditambah bertemu dengan keadaan dan orang yang sama setiap hari.

"Bayangkan saja, orang tua yang nggak pernah belajar tentang bagaimana menjadi guru, kemudian harus menjadi guru. Ada proses psikologi yang kemudian menyebabkan ada salah komunikasi antara anak dan orang tua. Nah, itu yang sebenarnya kasus kekerasan itu lebih ke arah situ," paparnya.

Baca Juga: Dilema Kekerasan Seksual Anak Saat Pandemi dari Kacamata KemenPPPA

Rumah Tidak Lagi Jadi Tempat Aman

Data serupa juga dicatat oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Berdasarkan laporan yang diterima KPAI, peningkatan kasus kekerasan seksual terjadi selama dua bulan terakhir.

"Kalau kekerasan seksual di data kita dalam laporan terjadi peningkatan, terutama dari segi jumlah korban, selama dua bulan belakangan ini. Misalnya, kita lihat warga negara Amerika itu ada beberapa yang jadi korban. Kemudian yang warga negara Perancis ada 305 yang terlaporkan. Kemudian kalau yang di Jambi ada 35 remaja anak SMP dan SMA," papar Komisioner KPAI Jasra Putra saat dihubungi suara.com, Jumat (17/7/2020).

Jasra menyampaikan, KPAI perlu menganalisa lebih dalam penyebab peningkatan kasus tersebut. Meski begitu menurutnya, ada kemungkinan lantaran kondisi di dalam rumah tidak nyaman dan aman anak sehingga membuatnya pergi ke luar yang kemudian dimanfaatkan oleh pedofil.

"Kasus mulai bermunculan ketika dilonggarkan. Misalnya ada di Lampung, Jakarta, ada Jambi. Ini harus jadi perhatian kita terutama keluarga yang terdekat dengan anak," ujarnya.

Selain pelaku dari pihak luar, kekerasan pada anak juga masih rentan terjadi dari dalam rumah, lanjut Jasra. Apalagi di daerah yang masih dalam zona merah Covid-19. 

Menurut Jasra, orangtua yang memiliki keterbatasan pengasuhan berisiko lebih besar melakukan kekerasan. Apalagi anak-anak masih melakukan sekolah dari rumah. Menurut Jasra, tidak semua orangtua bisa berperan dengan baik menjadi guru bagi anak.

"Situasi rumah kalau tidak nyaman dan aman juga orangtua memiliki keterbatasan pengasuhan tentu tingkat kekerasan bisa muncul. Baik kekerasan fisik, psikis, juga verbal pada keluarga," ucap Jasra.

"Dulu kan kita beranggapan kalau anak ada di rumah akan happy. Tapi sekarang kalau kita melihat data yang beredar anak justru ada kerinduan kembali ke sekolah. Karena rumah  tidak nyaman baginya. Karena tidak semua orangtua sanggup," tambahnya.

Oleh sebab itu lah diperlukan peran orangtua dalam melihat sinyal anak yang mulai bosan berada di dalam rumah. Jasra mengatakan bahwa penting adanya interaksi yang positif antara anak dan orangtua. 

"Kalau sudah bosan dari rumah berarti situasi rumah sudah mulai menjenuhkan dan kalau sudah bosan tingkat kekerasan akan muncul," kata Jasra.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI