Dilema Kekerasan Seksual Anak Saat Pandemi dari Kacamata KemenPPPA

Sabtu, 18 Juli 2020 | 08:03 WIB
Dilema Kekerasan Seksual Anak Saat Pandemi dari Kacamata KemenPPPA
Ilustrasi kekerasan pada anak. [Shutterstock]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Selama pandemi Covid-19, 1 Januari hingga 26 Juni 2020, Kementerian Pemerdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak atau KemenPPPA membukukan hampir 2 ribu anak menjadi korban kekerasan seksual selama pandemi Covid-19.

Tepatnya, 1.962 anak menjadi korban kekerasan seksual. Angka ini menunjukkan kekerasan seksual mendominasi dari semua kasus kekerasan pada anak dengan total 3.297 kasus.

Asisten Deputi Bidang Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi, Valentina Gintings, mengatakan ini hanyalah kasus yang terlapor atau mengadu. Sedangkan mereka yang tidak berani berbicara atau melapor seumpama gunung es, di mana jumlahnya lebih banyak dari ini.

"Sebenernya data dari lapangan, data yang melaporkan kasus itu ke pelayanan kita, dari tingkat kabupaten sampai tingkat provinsi. Kalau dia nggak melaporkan, makanya kita selalu bilang fenomena gunung es itu" ujar Valentina saat dihubungi suara.com beberapa waktu lalu.

Baca Juga: Sekolah Tutup karena Pandemi Covid-19, WHO Soroti Kasus Kekerasan Pada Anak

Meski tidak bisa secara tegas mengatakan kekerasan pada anak selalu meningkat, tapi berdasarkan hasil survei prevalensi atau diperkirakan 2 dari 3 anak telah mengalami kekerasan. Ini angka yang sangat tinggi, bahkan diprediksi lebih 75 persen anak mengalaminya.

"Kita lakukan survei pengalaman hidup anak dan remaja itu kan sudah terlihat 2 dari 3 anak, usia 13 hingga 17 tahun, respondennya pernah mengalami salah satu bentuk kekerasan," ungkapnya.

Harusnya lebih banyak di rumah jadi saat terbaik untuk quality time keluarga. Tapi orangtua tetap bekerja meski di rumah, dan kesibukan itulah yang akhirnya jadi peluang anak menjadi korban kekerasan saat mereka belajar di rumah. Ditambah bertemu dengan keadaan dan orang yang sama setiap hari.

"Bayangkan saja, orang tua yang nggak pernah belajar tentang bagaimana menjadi guru, kemudian harus menjadi guru. Ada proses psikologi yang kemudian menyebabkan ada salah komunikasi antara anak dan orang tua. Nah, itu yang sebenarnya kasus kekerasan itu lebih ke arah situ," paparnya.

Celah Mereka yang Dekat Jadi Pelaku

Baca Juga: KemenPPPA: Pergaulan Ampuh Cegah Kebiasaan Merokok Pada Anak

Sebagai orangtua tunggal atau keluarga dengan perekonomian kurang, beberapa orang harus habiskan waktu seharian mengais rezeki. Memang bukan kesalahan, tapi pengasuhan yang tidak utuh, termasuk perceraian, jadi peluang anak rentan alami kekerasan seksual.

Meninggalkan anak mereka seorang diri, menitipkan kepada ayah tiri maupun kandung, paman, pekerja di rumah, hingga petugas perlindungan tanpa disadari mereka adalah pelaku kekerasan, pemerkosaan, hingga eksploitasi seksual.

"Faktor ketidaktahuan atau mungkin kurangnya pengetahuan orangtuanya sendiri tentang cara pola pengasuhan anak. Masa, sih, seorang ibu tidak tahu kalau anaknya mengalami kekerasan seksual sejak kecil," ungkap Valentina miris.

Laporan kepolisian banyak ditemukan kasus eksploitasi seksual karena dorongan ekonomi. Anak belum cukup umur dipaksa melayani nafsu bejat pelaku yang tak lain orang dewasa.

Budaya Malu dan Aib Jadi Momok

Sebagai negara pengusung adat ketimuran, malu seolah wajib dimiliki, bahkan jadi alasan melegalkan aksi pengucilan hingga pembunuhan pada korban kekerasan seksual.

Velentina mengisahkan kasus seorang anak berumur 16 tahun ditemukan tewas dalam keadaan hamil, yang ternyata dihamili pacarnya. Ini karena keadaan anak itu dipandang aib keluarga, lalu seolah jadi pembenaran bagi sang kakak untuk membunuhnya.

"Anak usia 16 tahun ketahuan dia hamil oleh keluarganya yang dilakukan oleh pacarnya, kemudian karena ada yang budaya malu atau aib, yang kemudian anak itu dibunuh oleh abangnya sendiri," ceritanya.

Peristiwa ini pastinya jadi pukulan telak dalam penegakan hukum kekerasan seksual anak. Daripada melaporkan lalu jadi beban psikologis, keluarga yang bakal dirundung malu, menjadikan kekerasan seksual seolah bukanlah pelanggaran berat.

Kesulitan Pemerintah Memeluk Korban

Sekelumit kendala penegakan hukum itu, ditambah beban pemerintah menerima pengaduan tapi tidak bisa memprosesnya. Ini karena dana yang minim di daerah.

"Misalnya dia mengadukan, datang ke layanan kita. Bisa tahu kan pelayanan kita itu semua kalau di daerah itu anggarannya kecil banget. Jadi mereka biasanya untuk membawa korban untuk melakukan visum itu uangnya nggak ada," paparnya.

"Akhirnya proses hukumnya mau dilanjutkan, sebagai salah satu syarat bukti nggak bisa disediakan," lanjut Valentina miris.

Beberapa eksploitasi seksual dilaporkan langsung oleh anak, tapi kebanyakan tanpa sepengetahuan orangtua, yang tidak lain pelaku eksploitasi seksual.

"Eksploitasi seksual itu kadang yang tahu itu hanya anak itu, tanpa diketahui oleh orang tuanya," katanya.

Agar Pelindung Tak Jadi Pelaku

Masih membekas di ingatan bagaimana anggota P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) Lampung Timur yang seharusnya melindungi anak, malah menyetubuhi remaja 14 tahun yang sebelumnya sudah jadi korban perkosaan.

Ini pukulan telak di bidang pelindungan anak. Mereka yang seharusnya melindungi malah merobek kepercayaan. Alhasil, KemenPPPA, kata Valentina, melakukan evaluasi agar hal ini tidak terulang dengan menghasilkan UPTD yang langsung berada di bawah naungan KemenPPPA secara langsung.

"Sebenarnya Lampung Timur itu sudah membentuk UPTD, unit layanan yang berada setelah secara birokrasi berada di bawah dinas PPPA. Karena ini juga kebetulan P2TP2A-nya ini toh belum dibubarkan karena masih ada kasus," imbuh Valentina.

Mereka yang seharusnya melindung malah jadi pelaku, jadi harus ada pemberatan hukuman. Sejalan dengan undang-undang perlindungan anak yang sudah direvisi sebanyak 3 kali. Dari UU No. 23 Tahun 2002, diperbaharui menjadi UU No. 35 Tahun 2014, dan yang terbaru UU No.17 Tahun 2016 untuk pemberatan hukuman.

Undang-undang yang terbaru ini tertulis, 8 pihak yang sangat dilarang menjadi pelaku kekerasan seksual anak seperti orangtua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak.

Jika mereka melanggar, maka terancam pemberatan hukuman, demi memberikan efek jera, seperti dipidana seumur hidup, kebiri kimia, hingga hukuman mati. Beruntung, beberapa daerah sudah bisa menerapkannya dengan tegas.

"Sudah, bahkan kabupaten Mojokerto dan kota Surabaya udah memberlakukan itu kepada pelaku," imbuh Valentina.

Sedangkan RUU PKS yang seharusnya semakin mengukuhkan untuk melindungi anak dari kekerasan seksual, sedang terancam batal dirampungkan oleh DPR, maka Menteri PPPA Bintang Puspayoga akan turun tangan langsung mengurus itu.

"Ini Bu Menteri mungkin sedang melakukan koordinasi kembali dengan legislatif, bagaimana ini. Kemudian sebenarnya bisa menjadi pertimbangan semua pihak bahwa kepentingan kita terhadap RUU PKS ini secara nasional itu sampai sejauh mana, gitu kan ini bisa dilihat nantinya," pungkas dia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI