Suara.com - Anak adalah replika orangtua, itulah mengapa anak kerap disebut sebagai peniru ulung. Apa saja tindak tanduk orangtua, anak akan mencontohnya. Termasuk juga dalam hal perkataan.
Psikolog sekaligus Dosen Fakultas Psikologi Universitas Bhayangkara Jakarta Wahyu Aulizalsini, M.Psi menamakan hal tersebut dengan bonding emosi yang harus dibangun orangtua dengan anak.
"Perkembangan harus distimulus dan harus berubah. Perkembangan awal menentukan perkembangan selanjutnya. Jika diawal tidak dilakukan maka perkembangan selanjutnya akan bermasalah," ujar Wahyu dalam siaran pers yang diterima Suara.com, Selasa (14/7/2020).
Ia mengatakan sadar atau tidak, orangtua sering kali membentuk emosi dan sebuah ketakutan pada anak.
Baca Juga: Bagaimana Kiat Membangun Hubungan Antara Orangtua dan Anak Sambung?
Apalagi saat orangtua lepas kontrol, segala cercaan, celaan dan stigma negatif bahkan datang sendiri dari orangtua. "Karena jika anak di ajar dengan celaan maka anak akan belajar mencaci maki," tuturnya.
Balik lagi anak sebagai peniru, maka jika orangtua bisa memunculkan emosi yang baik dan positif, akan anak akan mengikutinya.
Hal itu bakal jadi dasar anak di kemudian hari, sampai akhirnya anak bisa menentukan baik atau buruk. "Orang tua perlu meminimalisir bahkan menghilangkan perkataan atau ucapan yang dapat memengaruhi kondisi emosi anak," jelasnya.
Contoh perkataan 'Jangan takut, kok segitu aja gak bisa', jadi contoh stimulasi yang salah dari orangtua yang dapat memicu emosi anak.
Sehingga emosi anak berpengaruh dan anak malah lebih takut untuk berbuat dan tidak berani mencoba.
Baca Juga: Psikolog Sebut Orangtua dan Anak Bisa Sama-sama Stres Saat Pandemi
Wahyu juga mencatat pentingnya bagi anak untuk diajari kemandirian sesuai usia, misalnya usia 18 hingga 24 bulan anak sudah harus bisa makan sendiri. Perkembangan anak harus berjalan sesuai usianya.