Suara.com - Jika dibandingkan sebelum dan setelah pandemi Covid-19, Ahli Jantung Ohio menemukan bahwa jumlah pasien yang mengalami Kadiomiopati Takotsubo atau dikenal dengan sindrom patah hati meningkat 4 sampai 5 kali lipat.
Diwartakan Live Science, Sabtu (11/7/2020) sindrom patah hati atau broken heart syndrome dikenal sebagai keadaan emosional yang ekstrem.
Keadaan tersebut bisa membuat otot jantung tiba-tiba melemah.
Gejala yang menandakan keadaan ini berupa serangan jantung yang bisa terjadi dengan tiba-tiba, nyeri dada dan sesak napas.
Baca Juga: Anak di Bawah 5 Tahun dan Lansia Dilarang ke Bioskop, Pengelola Bingung
Penyebab keadaan ini memang tidak diketahui, tapi diperkirakan terjadi karena peristiwa yang membuat stres secara fisik dan pikiran, yang membuat tubuh melepaskan hormon stres beberapa saat dan membuat jantung tidak bisa memompa darah secara normal.
"Berbagai tingkat stres terjadi dalam kehidupan manusia di seluruh negara dan dunia. Orang tidak hanya khawatir pada diri mereka dan keluarga jatuh sakit. Tapi juga mereka berhadapan dengan masalah ekonomi dan emosional, masalah masyarakat hingga berpotensi mengalami kesepian," ujar Peneliti Dr. Ankur Kalra, Ahli Jantung di Klinik Cleveland Kardiologi Invansif dan Intervensional dan Kedokteran Kardiovaskular.
Dalam penelitiannya Kalra dan timnya menganalisis sebanyak 258 data pasien yang datang ke klinik tempatnya bekerja dan Akron General Klinik Cleveland.
Mereka yang datang dengan sindrom koroner akut atau ACS pada 1 Maret hingga 30 April.
Peneliti kemudian membandingan data dengan empat kelompok kontrol pasien ACS yang datang ke klinik sebelum pademi, dari Maret hingga akhir April 2018, awal Januari hingga akhir Februari 2019, sejak awal Maret hingga akhir April 2019, dan awal Januari hingga akhir Februari 2020.
Baca Juga: Pandemi Covid-19 Waktu yang Tepat untuk Berhenti Merokok, Ini Alasannya
Peneliti kemudian menemukan 7,8 persen pasien yang ACS didiagnosis sindrom patah hati selama pandemi. Sedangkan angka sebelumnya hanya sebesar 1,5 persen hingga 1,8 persen sebelum pandemi.