Ahli Kesehatan Mengecam Perilaku AS yang Memborong Remdesivir

Sabtu, 04 Juli 2020 | 09:51 WIB
Ahli Kesehatan Mengecam Perilaku AS yang Memborong Remdesivir
Remdesivir, salah satu obat yang dianggap potensial menyembuhkan Covid-19.[Reuters]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Para ahli kesehatan mengecam keputusan Amerika Serikat dalam memonopoli hampir seluruh pasokan global remdesivir, satu-satunya obat antivirus berlisensi untuk mengobati Covid-19.

Mereka memperingatkan jenis perilaku mementingkan diri sendiri dapat memicu kelangkaan di tengah pandemi global seperti sekarang ini.

Pada Selasa (30/6/2020) kemarin, Presiden Donald Trump telah melakukan kesepakatan untuk membeli obat yang diproduksi oleh Gilead Sciences ini hanya untuk rakyatnya.

Dilansir TIME, Department of Health and Human Services (HHS) mengatakan Trump telah mendapatkan 500.000 stok obat sampai September, mewakili 100% kapasitas produksi pada Juli dan 90% dari kapasitas untuk Agustus dan September.

Baca Juga: IS Dkk Tertangkap! Racik Pil Ekstasi Pakai Obat Paramex hingga Casing HP

"Ini jelas menandakan keengganan untuk bekerja sama dengan negara lain dan berdampak terhadap perjanjian internasional tentang hak kekayaan intelektual," kata Ohid Yaqub, seorang dosen senior di Universitas Sussex, Inggris.

Remdesivir, obat buatan Gilead Sciences Inc yang digunakan untuk mengobati pasien virus corona COVID-19. [AFP]
Remdesivir, obat buatan Gilead Sciences Inc yang digunakan untuk mengobati pasien virus corona COVID-19. [AFP]

Menurut Peter Horby, peneliti menjalankan uji coba klinis besas terhadap beberapa perawatan untuk Covid-19. Kerangka kerja diperlukan untuk memastikan harga yang adil dan akses obat-obatan untuk masyarakat di seluruh dunia.

Dia mengatakan, sebagai perusahaan Amerika, kemungkinan Gilead berada di bawah tekanan politik tertentu.

Thomas Senderovitz, kepala Badan Obat Denmark, mengatakan langkah itu dapat membahayakan banyak orang.

"Aku belum pernah melihat yang seperti itu. Bahwa perusahaan memilih untuk menjual saham mereka hanya ke satu negara. Ini sangat aneh dan sangat tidak pantas," ujar Senderovitz.

Baca Juga: Ingin Obat Tradisional Mendunia, Menkes: Siapa Tahu Bisa Tangani Covid-19

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI