Suara.com - Kongo Timur telah secara resmi mengakhiri wabah Ebola paling mematikan kedua dalam sejarah, yang menewaskan 2.280 orang selama hampir dua tahun.
Perjuangan mengakhiri wabah itu juga menjadi tantangan kesehatan besar yang masih dihadapi Kongo di tengah epidemi campak terbesar di dunia, meningkatnya ancaman Covid-19 dan wabah Ebola baru di utara.
"Kami sangat bangga bisa menang atas epidemi yang berlangsung begitu lama," kata Dr. Jean-Jacques Muyembe, yang mengoordinasi respon Ebola nasional dan timnya juga mengembangkan pengobatan baru untuk hemoragik yang sebelumnya tidak dapat disembuhkan. penyakit.
Pengumuman awalnya akan dilakukan pada April tetapi kasus lain muncul tiga hari sebelum deklarasi bebas Ebola yang telah direncanakan.
Baca Juga: Mewabah Lagi di Kongo, Mengenal Ebola yang Tak Kalah Bahaya dari Covid-19
Epidemi, yang dimulai pada Agustus 2018, menghadirkan tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk Organisasi Kesehatan Dunia, Kementerian Kesehatan Kongo dan kelompok-kelompok bantuan internasional.
Ini karena peristiwa tersebut merupakan epidemi Ebola pertama di zona konflik.
Kelompok-kelompok bersenjata menghadapi risiko sedemikian rupa sehingga kadang-kadang vaksinasi hanya dapat dilakukan oleh tim-tim kecil yang tiba dengan helikopter.
Selain itu juga ada tantangan yang dialami petugas kesehatan lantaran masyarakat sering marah dengan kehadiran orang luar dan jumlah uang yang dihabiskan untuk Ebola.
Beberapa curiga epidemi itu adalah skema politik, sebuah teori yang berkembang setelah Presiden Joseph Kabila membatalkan pemilihan nasional di daerah yang terkena dampak Ebola.
Hanya beberapa tahun sebelumnya, epidemi Ebola di Afrika Barat menewaskan lebih dari 11.000, karena pada saat itu tidak ada vaksin atau perawatan berlisensi.
Pada saat wabah Kongo timur tidak ada satu tetapi dua vaksin eksperimental baru untuk menangkal penyakit yang membunuh sekitar setengah korbannya.
Baca Juga: Di tengah Pandemi Covid-19, 5 Orang di Kongo Meninggal Akibat Ebola
Namun, setelah lebih dari seperempat abad konflik, ketidakpercayaan terhadap petugas kesehatan pemerintah dan orang luar lainnya sangat tinggi di Kongo timur. Banyak warga yang pada awalnya menolak vaksin, karena khawatir itu akan membahayakan mereka.