Melarikan Diri dari Wabah Corona, Wanita Ini Berjalan Ratusan Kilometer

Rabu, 17 Juni 2020 | 18:29 WIB
Melarikan Diri dari Wabah Corona, Wanita Ini Berjalan Ratusan Kilometer
Ilustrasi berjalan kaki (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Pos pemeriksaan di sepanjang jalan

Seperti di negara lain, terdapat berbagai pos penjagaan di sepanjang desa. Mereka mencegah orang yang datang dari Lima, pusat virus corona di negara itu, dari menyebarkan virus ke daerah pedesaan.

Di San Ramon, tepat sebelum Tambo memasuki hutan, kami menyaksikan seorang petugas polisi menginterogasinya. "Kamu tidak bisa lewat di sini dengan anak-anak," kata petugas itu.

Tambo bernegosiasi dengannya. "Aku hanya akan kembali ke pertanianku, di Chaparnaranja, di mana aku sudah seminggu ini."

Baca Juga: Usaha Tas Nyaris Bangkrut, Sareh Beralih Produksi Face Shield Sejak Pandemi

Itu kebohongan. Dia tidak bisa memberi tahu petugas bahwa dia berasal dari Lima, atau dia tidak akan membiarkannya melanjutkan perjalanannya.

Tetapi ibu yang kelelahan itu bertahan. Dia melakukan apa yang harus dia lakukan untuk bertahan hidup, Menurut Tambo, virus corona tidak semenakutkan mati karena kelaparan.

Tambo dan ketiga anaknya diperiksa (YouTube/CNN)
Tambo dan ketiga anaknya diperiksa (YouTube/CNN)

Setelah tujuh hari, 300 mil (sekitar 482 km), ia akhirnya tiba di provinsi asalnya, Ucayali, di mana penduduk asli Ashaninka juga tinggal.

"Apa yang akan terjadi jika orang yang terinfeksi masuk? Bagaimana kita melarikan diri? Satu-satunya respirator yang kita miliki adalah udara. Pusat kesehatan kita tidak memiliki apa pun untuk melawan virus," ujar salah satu peminpin Ashaninka.

Tapi Tambo bertekad. Dia bernegosiasi dengan para pemimpin setempat dan diizinkan pulang, dengan syarat dia dan anak-anak mengasingkan diri selama 14 hari.

Baca Juga: Barista Street Masa Pandemi, Warganet: Solusi Ngopi Gak Perlu ke Kafe

Daerah asal Tambo (YouTube/CNN)
Daerah asal Tambo (YouTube/CNN)

Hingga akhirnya perjuangan Tambo tidak sia-sia. Ia tiba di rumah pada malam hari. Suaminya, Kafet, dan ayah mertuanya pun menyambutnya.

Namun sayang, karena harus adanya jarak fisik, mereka tidak boleh berpelukan satu sama lain.

"Sangat sulit, kami sangat menderita. Aku tidak ingin pergi ke Lima lagi. Kupikir aku akan mati di dana bersama putri-putriku," tandasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI