Suara.com - Pandemi virus corona yang menghantam seluruh negara di dunia telah memengaruhi semua aspek kehidupan, mulai dari ekonomi hingga pendidikan. Hal ini membuat beberapa orang putus asa.
Termasuk bagi Maria Tambo (40). Ia dan putri-putrinya datang ke Lima, Peru, dari desa terpencil di hutan hujan Amazon untuk mencari pekerjaan dan menyekolahkan putri tertuanya.
Tetapi ketika pandemi Covid-19 menyerang Peru, aktivitas negara itu terhenti. Lebih dari 70% orang bekerja di ekonomi informal, dan ketika pemerintah mulai memberlakukan lockdown ketat, Tambo menyaksikan kesempatan kerja menghilang.
Setelah hampir dua bulan karantina, mereka tidak punya uang lagi untuk membayar kamar sewaan atau makanan. Tambo memutuskan untuk kembali ke desa mereka di wilayah Ucayali, 350 mil (sekitar 563 km) jauhnya.
Karena seluruh transportasi umum tidak beroperasi, satu-satunya yang bisa mereka lakukan adalah berjalan kaki.
Baca Juga: Usaha Tas Nyaris Bangkrut, Sareh Beralih Produksi Face Shield Sejak Pandemi
"Saya tahu bahaya yang saya hadapkan kepada anak-anak, tetapi saya tidak punya pilihan. Aku (dalam kondisi) akan mati untuk keluar dari sini atau mati kelaparan di kamar," sambungnya, dikutip dari CNN Internasional.
Tambo dan ketiga putrinya meninggalkan Lima pada awal Mei. Ia mengenakan masker dan menggendong bayinya, Melec, di punggungnya dengan ransel besar.
Amele (17), anak pertama, dan Yacira (7), anak kedua, berjalan dengan susah payah di kedua sisinya, membawa tas ransel mereka sendiri.
Keluarga mereka tidak sendirian. Ribuan warga Peru lainnya berada di jalan, putus asa untuk melarikan diri dari pandemi dan hilangnya pendapatan.
Perjalanan Tambo dan ketiga anaknya tidak mudah. Ia harus melewati jalan raya berdebu, jalan pedesaan yang gelap, hingga mencapai hutan hujan Amazon yang berbahaya. Panas terik ia lewati demi mencapai kampung halamannya lagi.
Baca Juga: Barista Street Masa Pandemi, Warganet: Solusi Ngopi Gak Perlu ke Kafe
Jelas, ini menguras tenaga dan emosi Tambo. Bahkan, ia sempat menggumamkan lagu untuk Melec, sambil menangis.
"Tidak ada jalan, kau membuat jalanmu sendiri (dengan) berjalan," gumamnya.
Ada juga saat-saat mereka dapat menumpang truk di jalan. Atau diberi makanan oleh orang yang lalu lalang. Tapi sebagian besar waktu, mereka berjalan.
Pada hari ketiga, saat ia mendapat tumpangan ke kota berikutnya, Tambo bercerita kepada sang supir.
"Tangan putriku berubah ungu. Kupikir dia tidak akan selamat," katanya.