Suara.com - Di Indonesia, ada istilah 'bucin', akronim dari budak cinta, sebutan bagi mereka yang dinilai terlalu sayang atau cinta terhadap seseorang. Terkadang, orang yang mengalaminya mau melakukan apapun demi menyenangkan hati pujaan hatinya.
Berangkat dari maraknya penggunaan istilah ini di kalangan kaum muda membuat Olphi Disya Arinda, seorang mahasiswa magister di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, membagikan sebuah utas yang membahas fenomena bucin dari perspektif psikologi, pada Minggu (14/6/2020).
Berdasarkan cuitannya, kondisi psikologis seseorang yang sedang jatuh cinta mirip dengan kondisi psikologis pecandu zat adiktif.
"Kenapa bisa mirip? Karena mekanisme yang terjadi di otak ketika madly in love dan ketika mengonsumsi narkoba itu ga jauh berbeda. Jadi, kondisi psikologisnya pun jadinya 11:12 meskipun perilakunya berbeda," tulisnya.
Baca Juga: Pacarmu Tak Pernah Bilang Cinta? Bisa Jadi Ini 3 Penyebabnya
Namun, kondisi negatif atau positif dari bucin juga tergantung pada tingkat seberapa intens dan mengganggu perilaku tersebut.
"Apakah mengarah pada obsesif, delusional, atau gimana."
Sebagai acuan, Olphi mengunggah beberapa literatur yang ia gunakan sebagai latar belakang penelitian saat Ujian Akhir Semester Neuropsikologi pada 2018 lalu.
Dalam makalahnya, tertulis, "laki-laki dan perempuan yang menunjukkan tanda-tanda adiksi cinta mengekspresikan semua dari empat ciri dasar adiksi: ketagihan (craving), toleransi (intoxication), gejala penarikan diri (withdrawal) dan kambuh (relapse)".
Menurutnya, rasa cinta yang begitu dalam dapat membuat seseorang hanya berfokus pada pujaannya saja. Apabila perilaku ini dilakukan terus menerus, pada titik ekstrem akan menjadi perilaku obsesif.
Baca Juga: Telanjur Cinta, Pengantin Wanita Sengaja Tutupi Jenis Kelamin Pasangan
"Bucin yg ga sehat bikin pelakunya cenderung sulit berpaling & menjadikan pasangannya sebagai the center of their world."
Sensasi ketagihan yang dimaksud adalah perasaan saat jantung berdegup kencang, senang, rindu, berbunga-bunga. Hal-hal inilah yang membuat orang bucin ingin terus melakukan sesuatu hanya untuk merasakan sensasi tersebut.
Tidak hanya itu, orang yang bucin juga dapat menunjukkan perilaku berjarak dengan realita, meningkatnya toleransi, sensasi withdrawal, hingga memicu kekambuhan, seperti yang dipaparkan dalam makalahnya.
Pada kasus perilaku bucin yang ekstrem, Olphi mengatakan seseorang dapat melakukan hal-hal berisiko, yang juga terjadi pada pecandu zat adiktif.
"Udah banyak lah ya contoh kasus demi cinta, seseorang melakukan tindak kejahatan (cth: membunuh) atau tindakan dgn pengorbanan luar biasa."
Hal ini juga dikatakan oleh antropolog biologi di Rutgers University, Helen E. Fisher, "cinta adalah candu".
"Ini adalah kecanduan yang sangat kuat ketika semuanya berjalan dengan baik dan kecanduan yang sangat mengerikan ketika semuanya berjalan buruk," jelas Fisher, dikutip Live Science.
Sedangkan berdasarkan penelitian oleh profesor psikologi di State University of New York (SUNY) Stony Brook, Arthur Aron, PhD, perasaan cinta yang intens memengaruhi otak dengan cara yang sama seperti zat adiktif, misalnya kokain atau penghilang rasa sakit yang kuat.
"Alasan orang begitu tertarik pada kokain adalah karena mengaktifkan area otak yang membuat Anda merasa baik. Tempat sistem hadiah yang sama diaktifkan ketika orang-orang mengalami keinginan kuat akan cinta romantis," tuturnya, dilansir WebMD.
Itulah sebabnya, Olphi menyarankan untuk mencintai sewajarnya.
"Bukan bucinnya yg berbahaya tapi ketidakmampuan utk kontrol diri yg bikin kita kehilangan nikmatnya mencintai secara sehat," tandasnya.