Suara.com - Program wajib belajar 12 tahun rupanya belum mampu mengentaskan anak buta huruf di Indonesia. Buktinya, data Survei Sosial Nasional (Susenas) 2018 masih ada 4,3 persen anak berusia 15 tahun ke atas adalah anak buta huruf (ABH).
Jika berkaca dari data Bappenas 2018 ada sebanyak 70,49 juta anak berusia 0 hingga 14 tahun. Ini artinya ada lebih dari 2,3 juta anak berusia 15 tahun ke bawah mengalami buta huruf pada 2018.
Persentase ini didapatkan pada anak yang rata-rata sudah bersekolah selama 8,6 tahun.
"Untuk itu, kita harus meningkatkan pemahaman dan kapasitas orangtua dan keluarga untuk melakukan aksi nyata dalam peran pengasuhan. Hal ini bertujuan untuk mendorong anak agar berpendidikan lebih tinggi, memiliki gizi lebih baik, menekan angka perkawinan anak, memenuhi kepemilikan akta kelahiran anak, serta memenuhi hak-hak anak lainnya," ujar Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kemen PPPA, Lenny N. Rosalin dalam webinar, Rabu (10/6/2020).
Baca Juga: Ibu Buta Huruf Salah Pasang Atribut Seragam, Kisah Bocah Ini Bikin Haru
Beruntung, angka ini cenderung lebih membaik dibanding pada 2017 ABH mencapai 10,53 persen. Tingginya ketidakmampuan baca tulis otomatis terpengaruhi tingginya angka buta huruf.
Lenny juga menyampaikan banyak hak-hak anak lainnya yang harus terpenuhi seperti mendapatkan kartu identitas anak, didampingi saat mengakses informasi, didengarkan suaranya, bermain di tempat yang aman, diawasi saat bermain, semua anak harus sehat.
Di usia 6 bulan ke bawah anak juga diusahakan mendapatkan ASI Eksklusif dan makanan pendamping ASI, diberikan imunisasi, diajarkan perilaku hidup bersih sehat, tidak terpapar rokok, mengembangkan bakat anak, dan memanfaatkan waktu luang anak dengan kegiatan-kegiatan yang positif, inovatif dan kreatif, serta melindungi dari berbagai tindak kekerasan, eksploitasi, diskriminasi dan perlakuan salah lainnya.
Tidak lupa di masa new normal ini hak pengasuhan dan kasih sayang dari orangtua dan keluarga di masa pandemi ini jangan diabaikan. Apalagi hingga kini anak-anak masih aktif belajar di rumah.
“Bentuk relasi yang dapat dibangun ayah dan ibu dalam keluarga, yaitu menyediakan afeksi, pengasuhan dan kenyamanan anak, mempromosikan kesehatan keluarga, menjadi role model yang positif bagi anak, menjadi guru yang kreatif mendampingi anak belajar di rumah, berkreasi membuat anak agar tidak bosan, menciptakan suasana menyenangkan dan gembira, menjadi sahabat bagi anak, kita harus dorong sebuah relasi yang positif,” tambah Lenny.
Baca Juga: Orang yang Buta Huruf Lebih Berisiko Terkena Demensia di Kemudian Hari
Lebih lanjut Lenny menuturkan, anak adalah masa depan penerus bangsa. Peran orang dewasa sangatlah penting untuk berkontribusi membuat anak Indonesia menjadi lebih berkualitas.