Pria Botak Lebih Berisiko Terinfeksi Virus Corona Covid-19, Ini Sebabnya!

Jum'at, 05 Juni 2020 | 12:39 WIB
Pria Botak Lebih Berisiko Terinfeksi Virus Corona Covid-19, Ini Sebabnya!
Ilustrasi lelaki botak. (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Penelitian baru menemukan pria botak lebih mungkin menderita gejala virus corona Covid-19 parah daripada yang tidak.

Hubungan antara kebotakan dan gejala virus corona Covid-19 yang parah cukup kuat. Sehingga banyak peneliti menyerukannya supaya dianggap sebagai faktor risiko.

Prof Carlos Wambier, pemimpin studi utama di Brown University mengatakan tim penelitinya benar-benar berpikir bahwa kebotakan salah satu faktor risiko tingkat keparahan pasien Covid-19.

Dilansir oleh The Sun, jika temuannya dikonfirmasi, maka itu bisa menjadi gamechanger untuk merawat pasien virus corona Covid-19 dan bisa mengurangi jumlah pria yang meninggal akibat virus tersebut.

Baca Juga: Alhamdulillah! 150 Pasien Corona di RS Pulau Galang 100 Persen Sembuh

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pria botak secara tidak proporsional rentan meninggal akibat virus corona Covid-19, karena hormon dalam tubuhnya.

Penelitian sebelumnya dan analisis statistik oleh Public Health Inggris menunjukkan bahwa pria dua kali lebih mungkin meninggal karena virus corona Covid-19.

Ilustrasi kebotakan pada lelaki. (shutterstock)
Ilustrasi kebotakan pada lelaki. (shutterstock)

Para ilmuwan pun percaya bahwa kerentanan pria terhadap virus corona Covid-19 disebabkan oleh hormon seks pria yang disebut androgen, yang juga termasuk testosteron.

Hormon androgen itulah yang menyebabkan rambut rontok dan bertindak sebagai pintu masuk untuk virus corona Covid-19 menyerang sel.

Jika teori itu benar, maka penekan hormon yang digunakan untuk mengobati kanker prostat dan kebotakan juga bisa digunakan untuk bug yang mematikan tersebut.

Baca Juga: Sudah Dinyatakan Negatif Corona, Pekerja Migran Belum Mau Pulang ke Kampung

Temuan dari Brown ini mengonfirmasi studi sebelumnya yang menemukan penyebab dan efek sama dengan pasien di seluruh dunia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI