Adapun pilihan responsnya adalah 'tidak pernah', 'sesekali', 'kadang-kadang', 'sering' dan 'sangat sering'.
Hasilnya dilansir oleh Psychology Today, peneliti menemukan bahwa 8.8 perse dari peserta menjadi 'kurang', sebanyak 9,2 persen menjawab 'kadang-kadang' dan 82 persen menjawab 'sering'.
Dalam penelitian ini, pria usia 30 tahun ke bawah memiliki jumlah yang lebih rendah untuk pilihan 'sering' memakai media sosial.
Satu statistik yang lebih menarik dari penelitian ini adalah peserta dengan pendidikan rendah atau sekolah menengah memiliki proporsi yang lebih rendah untuk pilihan sering, daripada orang yang berpendidikan tinggi.
Baca Juga: Studi Ungkap Risiko Kematian Pasien Kanker dengan Covid-19 Tinggi
Sedangkan, peserta yang berasal dari kalangan pelajar dan pensiunan justru memiliki proporsi jauh lebih sering melihat media sosial.
Peavalensi depresi di antara peserta adalah 48,3 persen dengan proporsi yang lebih besar di antara individu usia 21-40 tahun. Demikian pula tingkat kecemasan setinggi 22,6 persen yang lebih besar pada orang usia 31-40 tahun.
Kombinasi kecemasan dan depresi (CDA) adalah 19,4%. Bila dibandingkan dengan sampel dari gangguan apapun 9kecuali demensia), prevalensi kecemasan dan depresi mencapai 16,6 persen.
Data ini menunjukkan bahwa tingkat gangguan kesehatan mental di China jauh lebih tinggi akibat virus corona Covid-19. Goa et al yang melakukan penelitian pun berpendapat media sosial memiliki peran kuat dalam meningkatkan kasus gangguan kesehatan mental.
"Media sosial salah satu saluran utama yang memperbarui informasi Covid-19. Studi ini juga menemukan bahwa 82 persen dari per=serta lebih sering mengekspos dirinya di media sosial," jelas para peneliti.
Baca Juga: Kementerian Kesehatan Rusia setujui Avifavir sebagai Obat Corona Covid-19