Tidak Ngotot Soal Pengujian Covid-19, Begini Cara Jepang Hadapi Wabah

Senin, 01 Juni 2020 | 14:43 WIB
Tidak Ngotot Soal Pengujian Covid-19, Begini Cara Jepang Hadapi Wabah
Jepang bersiap gelombang kedua Covid-19. (Anadolu Agency/Akram Mohammed Muthanna)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Jika kebanyakan negara mengajukan tes sebagai strategi utama dalam menangani wabah Covid-19, maka berbeda dengan Jepang. Negara tersebut malah tidak terlalu banyak melakukan tes.

Dilansir dari New York Times, para ahli medis khawatir bahwa pendekatan itu akan membutakan negara terhadap penyebaran infeksi karena tidak diketahui jumlah yang sebenarnya.

Per Minggu (31/5/2020), kasus di Jepang mencapai 16.804 dengan kasus sembuh sebanyak 14.406 dan 886 orang meninggal.

Minggu terakhir bulan Mei, Perdana Menteri Shinzo Abe menyatakan pertempuran Jepang melawan wabah sukses besar yang membuat negara tersebut mulai membuka lockdown.

Baca Juga: Presiden Jokowi Pimpin Upacara Hari Lahir Pancasila secara Virtual

"Dengan melakukan berbagai hal dengan cara Jepang yang unik, kami hampir dapat sepenuhnya mengakhiri gelombang infeksi ini," kata Abe.

Sayangnya, masih belum jelas apa yang menjadi penyebab pencapaian Jepang dan apakah negara lain dapat mengambil pelajaran dari pendekatannya.

Alih-alih menguji secara luas untuk memahami dan membatasi penyebaran virus melalui populasi umum, Jepang lebih fokus pada penanggulangan wabah kecil secara cepat melalui pelacakan kontak.

Jepang dalam menghadapi wabah tidak dengan mengatur kehidupan sehari-hari, tetapi berfokus pada mendidik orang tentang langkah-langkah seperti melakukan jarak sosial.

Kemungkinan lain yang membuat kematian kecil di negara tersebut adalah atribut budaya yang dimilikinya. Mereka telah terbiasa menggunakan masker, melakuan praktik mencuci tangan secara teratur, dan hampir tidak ada salam fisik seperti pelukan dan jabat tangan.

Baca Juga: Biasa Digelar Meriah, Perayaan Bulan Bung Karno di Blitar Kini Ditiadakan

Kombinasi dari banyak faktor lain adalah langkah pemerintah dan perubahan perilaku masyarakat dalam menghadapi tekanan pandemi.

"Tindakan individu mungkin tampak kecil atau biasa saja," kata Keiji Fukuda, seorang ahli epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat di Universitas Hong Kong.

Ia menambahkan, “dampak kumulatif dari semua upaya di seluruh negeri dalam menerapkan semacam jarak mungkin sangat besar."

Apapun formulanya, Jepang sejauh ini berhasil menjaga angka kematian tetap rendah. Negara ini telah mencatat kurang dari 900 kematian bahkan ketika Amerika Serikat dan negara-negara Eropa telah melaporkan puluhan ribu.

Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe saat berpidato dalam konferensi pers.[Kiyoshi Ota/Pool via REUTERS]
Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe saat berpidato dalam konferensi pers.[Kiyoshi Ota/Pool via REUTERS]

Jepang awalnya mengatakan kepada orang-orang yang merasa terinfeksi virus untuk tidak mencari bantuan medis kecuali mereka telah mengalami demam selama empat hari atau dua hari jika pada orang berusia lebih dari 65 tahun.

Para ahli medis mengatakan pedoman itu dimaksudkan untuk menghemat sumber daya rumah sakit.

Pemerintah Jepang juga mengatakan sejak awal bahwa test kit harus dijatah karena persediaannya terbatas.

Jepang sejak itu melonggarkan peraturannya untuk memungkinkan mereka dites positif tetapi tidak menunjukkan gejala untuk tinggal di hotel.

Terlepas dari kendala pengujian untuk virus, tingkat hasil positif telah turun di bawah 1 persen. Ahli pemerintah tentang virus mengatakan bahwa tingkat pengujian saat ini sudah cukup.

Tetapi sekelompok akademisi Jepang terkemuka, pebisnis, dan tokoh-tokoh lainnya meminta pemerintah untuk mengambil langkah yang jauh lebih berani. Mereka meminta untuk membangun kapasitas 10 juta tes sehari dan menawarkan pengujian kepada siapa pun yang menginginkannya.

Para ahli kesehatan masyarakat, termasuk beberapa di pemerintahan, telah memperingatkan agar tidak menarik kesimpulan pasti dari pengalaman Jepang. Mereka memeringatkan bahwa Jepang belum jelas dan gelombang infeksi kedua atau ketiga dapat menyerang kapan saja.

Faktor kunci lainnya mungkin adalah keputusan Shinzo Abe untuk menutup sekolah pada akhir Februari, jauh sebelum semua negara lain melakukanya.

"Keputusan itu sangat tidak populer saat itu, tetapi tampaknya telah memicu perubahan perilaku yang hampir seketika," menurut jajak pendapat yang dilakukan oleh para peneliti di Universitas Hiroshima.

Sehari setelah pengumuman penutupan sekolah, persentase orang yang menghindari tempat ramai hampir dua kali lipat, naik menjadi hampir 60 persen.

Pada bulan April, ketika kasus-kasus mulai meningkat, Shinzo Abe mengumumkan keadaan darurat. Bisnis diminta untuk menutup atau mengurangi jam kerja mereka. Orang-orang hanya diminta melakukan perjalanan yang diperlukan.

Tidak ada hukuman, tetapi banyak pula yang mematuhinya.

Saat Jepang mulai dibuka kembali, beberapa ahli khawatir bahwa orang akan mulai menurunkan penjagaan mereka.

Dalam pidatonya, Perdana Menteri Shinzo Abe menekankan bahwa akhir dari keadaan darurat tidak berarti kembali ke kehidupan normal.

"Apa yang perlu kita tuju adalah membangun normal baru," kata Abe.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI