Suara.com - Penjualan rokok di Indonesia masih dilakukan secara bebas. Mulai dari minimarket, warung eceran, hingga pedagang kaki lima tak sulit bagi siapa pun untuk membeli rokok, termasuk anak-anak.
Selain lingkungan yang bisa membuat anak-anak jadi perokok aktif, kemudahan dalam mendapat rokok juga jadi salah satu penyebabnya.
Dirjen Rehabilitasi Sosial Kemensos Harry Hikmat mengatakan, seharusnya rokok dijual secara ekslusif seperti pada penjualan minuman keras.
"Dunia rokok ini harusnya sudah menjadi dunia ekslusif sama dengan miras. Tahun 80-90-an luar biasa (miras) bisa kita temukan di warung-warung eceran. Tapi dengan upaya pemerintah akhirnya penjualan miras ekslusif," kata Harry dalam Webinar perayaan Hari Tanpa Tembakau Sedunia, Minggu (31/5/2020).
Baca Juga: Sering Kencing Mendadak karena Sulit Menahan? Awas Tanda-tanda Demensia!
Menurut Harry, penjualan secara ekslusif bisa jadi upaya pencegahan agar anak di bawah usia 18 tahun tidak mudah terpapar dan mendapatkan rokok.
Diakui Harry bahwa iklan jadi salah satu faktor anak mendapatkan informasi terkait rokok.
Iklan sengaja digencarkan para industri rokok untuk menaikan penjualan demi mengejar target biaya cukai yang dinaikan pemerintah.
Harry mengatakan, sejak awal tahun 2020 target cukai rokok naik menjadi Rp 180,5 triliun dari sebelumnya Rp 123 triliun.
"Persoalannya ketika cukai ditingkatkan pilihannya adalah meninggikatkan harga setinggi mungkin sehingga target tercapai. Tapi kenaikan harga rokok tidak sejalan dengan kenaikan cukai. Ada kenaikan tapi tidak signifikan. Artinya untuk capai target dari industri diupayakan sebesar mungkin volume penjualan," papar Harry.
Baca Juga: Pangeran William dan Kate Laporkan Sebuah Media Inggris, Apa Sebab?
Hal itu yang kemudian jadi kendala bagi pegiat anti rokok menahan laju penyebarluasan rokok yang bisa berdampak buruk pada anak.