Suara.com - Fenomena Perokok Anak, Kegagalan Pola Asuh atau Manipulasi Industri?
Hari Tanpa Tembakau Sedunia yang diperingati setiap tanggal 31 Mei menjadi momen tepat untuk meninjau kembali permasalahan perokok anak di Indonesia.
Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang diterbitkan Kementerian Kesehatan, terdapat kenaikan angka prevalensi perokok anak (usia 10-18 tahun) dari 7,2 persen pada tahun 2013 menjadi 9,1 persen pada tahun 2018, atau setara dengan 7,8 juta anak.
Padahal RPJMN (Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional) menargetkan pada tahun 2019 prevalensi perokok anak harus turun menjadi 5,4 persen.
Baca Juga: Cukai Rokok Naik, Kemenkes Harap Jumlah Perokok Anak dan Remaja Berkurang
Bukan cuma pada rokok tembakau, angka perokok anak yang menggunakan rokok elektrik atau vape juga meningkat pesat.
Data Sirkesnas 2016 menyebut prevalensi pengguna rokok elektrik usia 10-18 tahun di Indonesia hanya 1,2 persen. Namun di Riskesdas 2018, jumlahnya naik drastis menjadi 10,9 persen.
Peran Orangtua dan Kegagalan Pola Asuh
Lalu, apa penyebab angka perokok anak terus saja meningkat? Mouhamad Bigwanto, SEATCA TIM Focal Point for Indonesia yang juga Ketua Pusat Kajian Kesehatan UHAMKA mengatakan, perilaku orang lain di sekitar anak sangat memengaruhi kecenderungannya untuk merokok.
Selain tekanan teman sebaya, peran orangtua dan keluarga inti dalam menyebabkan anak merokok juga sangat signifikan.
Baca Juga: Peningkatan Jumlah Perokok Anak Dinilai Bakal Jadi Bencana Demografi
Bahkan, studi yang diterbitkan tahun 2013 oleh Purdue University, Amerika Serikat, mengatakan bahwa pengaruh kebiasan merokok orangtua pada anak sangat besar.
Dalam studi yang melibatkan 214 partisipan, sekitar 29 persen anak akan mengikuti jejak orangtuanya untuk merokok, meskipun orangtua berhenti di kemudian hari.
Dilansir dari laman Healthday, Mike Vuolo, peneliti utama studi tersebut, menjelaskan bahwa anak rentan mengikuti jejak perokok yang dilihatnya, baik itu orangtua, keluarga dekat, maupun saudara yang lebih tua.
"Terutama pada keluarga dengan perokok berat, anak-anak bisa mulai mencoba rokok mulai dari usia 11 tahun," ujarnya.
Hal senada juga pernah diungkapkan oleh psikolog Liza Djaprie. Kebiasaan orangtua yang dengan bebas merokok di depan anak atau menyuruh anak untuk membelikan rokok menjadi alasan 'melumrahkan' kegiatan merokok.
"Karena itu tanpa sadar, merupakan eksploitasi penanaman, cuci otak, bahwa orangtua merokok, artinya tidak apa-apa. Hal seperti itu yang harus diperangi," kata Liza, beberapa waktu lalu.
Namun, benarkah fenomena perokok anak hanya terjadi karena faktor orangtua dan pola asuh?
Selanjutnya: Anak Merokok karena Manipulasi Industri?
Anak Merokok karena Manipulasi Industri?
Berdasarkan perhitungan Cigarette Affordability Index (CAI) pada 2016, harga rokok di Indonesia 1,5 kali lebih terjangkau dibanding tahun 2002.
Harga rokok yang murah diduga menjadi penyebab meningkatnya prevalensi perokok termasuk angka perokok pemula dari kalangan anak-anak dan remaja.
Rokok juga telah membebani keluarga miskin, meningkatkan stunting, membebani pembangunan kesehatan dan Jaminan Kesehatan Nasional, menghambat perbaikan kualitas sumber daya manusia dan mengancam pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Lisda Sundari, Ketua Yayasan Lentera Anak Indonesia, mengatakan peran industri rokok dalam peningkatan prevalensi perokok anak sangat besar. Menurutnya, industri rokok sangat gencar menyasar anak muda sebagai target pemasaran produknya dengan melakukan berbagai kegiatan manipulatif melalui iklan, promosi, sponsor, kegiatan CSR, informasi misleading dan produk-produk baru. Sementara di sisi lain peraturan dan perlindungan kepada anak dan remaja masih sangat lemah.
"Industri rokok sangat berkepentingan terhadap anak muda untuk menjamin keberlangsungan bisnis mereka, karena mereka berpotensi menggantikan para perokok senior yang sudah meninggal atau berhenti merokok," kata Lisda.
Lisda mengatakan dalam mempromosikan rokok elektrik, industri rokok agresif menarik perokok pemula anak dan remaja dengan membuat variasi aneka rasa yakni manis, mint, dan buah-buahan.
Tidak jarang rokok elektrik diposisikan sebagai cara efektif untuk berhenti merokok, sehingga banyak anak muda memilih berpindah dari rokok tembakau kepada rokok elektrik dengan alasan lebih aman.
Untuk itu di Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2020 kali ini, Lisda meminta adanya inisiatif yang lebih besar dari pemerintah dan pihak-pihak terkait demi menuntaskan masalah perokok anak di Indonesia.
"Kondisi ini tidak bisa terus menerus dibiarkan. Pemerintah harus hadir untuk melindungi anak muda dari target pemasaran rokok dengan membuat regulasi yang lebih kuat," tutup Lisda.