Suara.com - Dengan ribuan pulau mengangkangi bagian Khatulistiwa yang lebih luas dari benua Amerika Serikat, Indonesia awalnya mengandalkan kepulauan yang luas dan populasi anak muda yang mendominasi untuk memperlambat penyebaran virus corona.
"Tetapi dengan peningkatan beban kasus yang tajam di daerah-daerah yang jauh seperti Maluku dan wabah besar di pulau-pulau yang lebih padat seperti Jawa, keberuntungan Indonesia mungkin hampir habis," tulis Hannah Beech dan Muktita Suhartono pada New York Times.
Kedua penulis tersebut adalah jurnalis New York Times yang khusus melaporkan kasus-kasus di Asia Tenggara.
Per Jumat (29/5/2020), kasus di Indonesia telah mencapai 25.773 dengan 7.015 orang sembuh dan 1.573 kasus meninggal.
Baca Juga: Keluarga Pasien Diseret Petugas Covid, DPR: Publik Melihatnya Tak Baik
“Infeksi masif telah terjadi,” kata Dono Widiatmoko, dosen senior di bidang kesehatan dan perawatan sosial di Universitas Derby dan anggota Asosiasi Kesehatan Masyarakat Indonesia seperti yang dikutip dari New York Times.
"Ini berarti sudah terlambat," katanya saat menanggapi tes acak yang dilakukan di berbagai daerah.
Namun, bahkan ketika beban kasus meningkat pemerintah mengatakan bahwa pembatasan nasional akan segera dilonggarkan untuk menyelamatkan ekonomi.
Padahal ada kekhawatiran yang meluas di antara para pakar kesehatan masyarakat, bahwa sistem perawatan kesehatan Indonesia akan rusak jika virus corona menyebar sama kuatnya seperti di Amerika Serikat atau Eropa.
Dilansir dari New York Times, lebih dari setengah kematian Covid-19 di Indonesia adalah dari orang-orang di bawah usia 60 tahun. Di Amerika, sebagian besar kematian terjadi di kalangan orang tua.
Baca Juga: Nabila Putri Akhirnya Akui Sudah Menikah di Australia Tahun Lalu
Sementara itu, para ahli epidemiologi khawatir akan terjadi peningkatan kasus yang lebih besar bulan depan (Juni).
Pemodelan oleh ahli epidemiologi di Universitas Indonesia memperkirakan bahwa hingga 200.000 orang Indonesia mungkin memerlukan rawat inap akibat virus corona karena aktivitas lebaran.
Sayangnya, tingkat pengujian Indonesia adalah yang terburuk di antara 40 negara yang paling terpengaruh oleh virus. Perbandingan tes adalah 967 banding 1 juta orang.
"Bencana masih akan datang," kata Dr. Pandu Riono, seorang ahli epidemiologi yang memimpin upaya pemodelan Universitas Indonesia.
“Bahkan setelah berbulan-bulan, kita masih memiliki pemimpin yang percaya pada keajaiban daripada sains. Kami masih memiliki kebijakan yang mengerikan," tambahnya.
Pada awal wabah, bahkan ketika negara-negara terdekat mencatat peningkatan infeksi lokal, para pemimpin Indonesia bertindak seolah-olah kebal terhadap virus corona.
"Mereka menyangkal," kata Dr. Erlina Burhan, seorang ahli paru-paru senior di Rumah Sakit Persahabatan Jakarta.
Indonesia baru mengkonfirmasi kasus virus corona pertama di awal Maret. Sementara, negara tetangga Malaysia dan Singapura mencatat kasus pertama mereka pada akhir Januari.
Padahal beberapa rumah sakit, terutama di Jawa yang padat mencatatkan kasus pneumonia dengan gejala yang mirip dengan Covid-19. Tetapi mayat dikuburkan sebelum tes virus corona diberikan.
Penyangkalan berlanjut di antara para pejabat pusat. Bahkan Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto menyarankan doa sebagai penangkal virus.
Presiden Jokowi akhirnya mengakui bahwa situasi sebenarnya tidak dibagikan kepada publik untuk menghindari kepanikan yang menyebar di seluruh negeri. Tetapi pembatasan nasional tidak diberlakukan selama berminggu-minggu, sehingga beberapa pejabat provinsi melakukan larangan perjalanan secara mandiri.