Suara.com - Para dari peneliti antropologi biologi Universitas Negeri Washington mengusulkan pendekatan baru untuk penyakit mental. Peneliti mencatat bahwa psikologi modern dan khususnya penggunaan obat-obatan seperti antidepresan, sebagian besar telah gagal mengurangi prevalensi gangguan mental.
Dilansir dari Medical Xpress, prevalensi global gangguan depresi mayor dan gangguan kecemasan tetap stabil masing-masing sebesar 4,4 persen dan 4 persen dari tahun 1990 hingga 2010.
Para penulis juga berteori bahwa depresi, kecemasan, dan gangguan stres pasca-trauma (PTSD) mungkin merupakan respons terhadap kesulitan. Oleh karena itu, hanya mengobati sakit psikis dari masalah ini dengan obat-obatan tidak akan menyelesaikan masalah yang mendasarinya.
"Rasa sakit bukanlah penyakit, rasa sakit adalah fungsi yang memberi tahu Anda ada masalah," kata Kristen Syme, penulis utama penelitian tersebut.
Baca Juga: Yusuf Mansur Ungkap Penyebab Muncul Hoaks Mamah Dedeh Meninggal
"Depresi, kecemasan dan PTSD sering melibatkan ancaman atau paparan kekerasan, yang merupakan sumber yang dapat diprediksi untuk hal-hal yang kita sebut penyakit mental," katanya.
"Sebaliknya, mereka lebih mirip fenomena sosiokultural, jadi solusinya tidak selalu memperbaiki disfungsi pada otak seseorang. Tetapi memperbaiki disfungsi di dunia sosial," tambah Syme.
Syme dan rekan penulis Edward Hagen menganjurkan antropologi biologi sebagai cara pandang baru untuk membantu menemukan solusi yang efektif pada kesehatan mental. Terutama untuk beberapa masalah yang mungkin bersifat sosial.
"Penelitian kesehatan mental masih sangat terjebak dalam pandangan yang keluar dari abad ke-19 dan dihidupkan kembali pada tahun 1980, dari mengklasifikasikan segala sesuatu dengan gejala," kata Hagen, seorang profesor WSU antropologi evolusi dan penulis penelitian.
"Meskipun kami menggunakan pengukuran baru, seperti genetika, biomarker dan pencitraan, ini masih belum menambah wawasan yang diperlukan untuk benar-benar meningkatkan kehidupan masyarakat," tambahnya.
Baca Juga: Dokter Bongkar Kebobrokan Penanganan Virus Corona di Surabaya
Di antara masalah yang lebih bermasalah, para peneliti menunjuk ke teori ketidakseimbangan kimiawi dari depresi yang telah membantu menciptakan obat-obatan antidepresan untuk memodulasi bahan kimia tertentu di otak.
Sebuah meta-analisis besar dari uji antidepresan pada 2018 menemukan bahwa antidepresan memiliki efek yang hampir sama dengan plasebo dan penggunaannya yang luas belum memberikan hasil yang terukur.
Misalnya, di Australia saja, penggunaan antidepresan meningkat 352 persen dari tahun 1990 hingga 2002, namun belum ada pengurangan prevalensi mood, kecemasan atau gangguan penggunaan narkoba di negara manapun.
Alih-alih mengatasi masalah mental dengan gejala-gejala mereka, Hagen dan Syme mengusulkan mendekati penyakit mental dengan kemungkinan penyebabnya.
Mereka mengakui bahwa beberapa gangguan kejiwaan seperti skizofrenia cenderung bersifat genetik dan sering diwariskan dan yang lain seperti Alzheimer tampak terkait dengan penuaan.
Namun, para antropolog berpendapat bahwa beberapa kondisi mungkin merupakan ketidakcocokan antara lingkungan modern dan leluhur seperti gangguan attention-deficit atau hyperactivity yang juga dikenal sebagai ADHD.
Gangguan lain seperti depresi, kegelisahan dan PTSD bukan keturunan, terjadi pada usia berapapun dan sering dikaitkan dengan pengalaman yang mengancam.
Hagen dan Syme mengusulkan bahwa gangguan itu mungkin merupakan respons terhadap kesulitan dan berfungsi sebagai sinyal, seperti halnya rasa sakit fisik, untuk membuat orang sadar akan perlunya bantuan.
Kondisi-kondisi ini juga memengaruhi orang-orang di negara-negara berkembang secara tidak proporsional. Sebagai contoh, 1 dari 5 orang di negara-negara yang terkena dampak konflik menderita depresi.
"Sebagai antropolog, kita harus mempelajari ini lebih banyak karena beban kesehatan mental dalam populasi yang sering kita pelajari cukup tinggi," kata Hagen.