Suara.com - Bergosip, kegiatan yang cukup sering dilakukan sebagian besar orang di seluruh dunia. Bahkan, beberapa orang mengatakan bergosip itu menyenangkan.
Terkait hal ini, ilmuwan sosial telah menemukan setiap orang dirancang untuk memperhatikan gosip, dan berpartisipasi di dalamnya. Faktanya, ini adalah adaptasi evolusi, sudah menjadi sifat manusia untuk 'menumpahkan' informasi.
Frank McAndrew, seorang profesor psikologi di Knox College di Galesburg, Illinois, mengatakan untuk berkembang di zaman manusia gua, kita harus tahu apa yang terjadi dengan orang-orang di sekitar kita.
"Siapa yang tidur dengan siapa? Siapa yang memiliki kekuatan? Siapa yang memiliki akses ke sumber daya? Dan jika Anda tidak pandai dalam hal itu, Anda tidak terlalu sukses," katanya, dikutip CNN Internasional.
Baca Juga: Batalkah Puasa Jika Telanjur Ghibah atau Bergosip?
Gosip umumnya berkonotasi negatif, terutama ketika membicarakan tentang rumor yang menyakitkan, dan hak privasi orang lain.
Namun dalam kehidupan sehari-hari, kata para peneliti, obrolan kita tentang orang lain cenderung relatif membosankan dan netral dan memiliki alasan 'unik' tersendiri.
Rata-rata orang bergosip
Sebagian besar peneliti mendefinisikan gosip sebagai pembicaraan tentang seseorang yang tidak hadir dan berbagi informasi yang tidak banyak diketahui.
Menurut analisis oleh para peneliti di University of California Riverside, rata-rata orang menghabiskan 52 menit setiap hari untuk bergosip.
Baca Juga: 6 Cara Mengekspor Riwayat Obrolan WhatsApp ke PC
Namun, mayoritas gosip tidak berbahaya. Sekitar 15% dari obrolan melibatkan penilaian negatif, yang oleh peneliti disebut 'evaluatif', tetapi di luar itu, rata-rata orang hanya mendokumentasikan fakta seperti, "dia terjebak di tempat kerja", atau "dia harus pergi ke rumah sakit".
Obrolan netral semacam ini sebenarnya membantu kita membangun persahabatan, komunitas, atau mempelajari informasi yang vital untuk memiliki kehidupan sosial, kata Megan Robbins, seorang profesor psikologi UC Riverside.
"Anda dapat menjalin hubungan dengan berbicara tentang orang lain dan mencari tahu sesuatu tentang orang lain dalam kelompok," sambungnya.
"Bahkan, untuk jenis gosip yang evaluatif, Anda mengatakan, 'Saya mempercayai Anda dengan informasi ini'," lanjutnya.
Meskipun bergosip sering distereotipkan sebagai hobi feminin, kelas rendah atau tidak berpendidikan, tapi faktanya, Robbins mengatakan semua orang melakukannya.
"Data kami menghilangkan prasangka semua stereotip. Sebagai spesies sosial, kita harus berbicara tentang orang-orang. Kita tidak hidup sendirian, dan kita berbicara tentang orang-orang yang terkadang tidak ada," jelasnya.
Namun, praktik ini menjadi sangat berbahaya ketika tidak memberikan kesempatan untuk pembelajaran sosial, kata ilmuwan. Misalnya, berkomentar kasar tentang penampilan atau kesehatan seseorang dan memberikan komentar yang sebenarnya tidak benar.
Gosip yang menghakimi atau negatif yang dinilai dapat bermanfaat adalah ketika itu memberikan pembelajaran budaya dan memaksa orang untuk berperilaku lebih baik.
Robbins mengatakan ada penelitian yang meyakinkan bahwa gosip bisa berfungsi sebagai pemeriksaan terhadap perilaku moral orang lain, sebab kita peduli dengan reputasi diri sendiri dan risiko orang lain bergosip tentang keputusan buruk kita.
"Berbagi gosip dengan seseorang adalah mekanisme ikatan. Itu memang meningkatkan moral," jelas McAndrews.