Suara.com - Terungkap! Ini Penyebab Tingkat Polusi di Jakarta Tak Berubah Selama PSBB
Kebijakan Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB) membuat penggunaan transportasi di DKI Jakarta berkurang, karena ditutupnya kantor, sekolah, dan kegiatan publik lainnya. Apakah berdampak pada tingkat polusi dan kualitas udara?
Studi yang dilakukan oleh Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) menyebut selama periode 12 Maret hingga 5 Mei 2020, tingkat nitrogen dioksida (NO2) di Jakarta mengalami penurunan hingga 40 persen.
Meski begitu kadar partikulat matter 2.5 (PM2.5) yang berbahaya bagi kesehatan, tidak berubah. Hal ini menurut peneliti Isabella Suarez, Analis di Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih (CREA), membuktikan bahwa masalah polusi udara sekitar kota Jakarta sangat ipengaruhi oleh polutan dari daerah sekitarnya.
Baca Juga: Gara-gara Lockdown, Kualitas Udara di Asia Tenggara Alami Perubahan Drastis
"Di provinsi Banten di mana terdapat pembangkit listrik Suralaya, sebaran NO2 tetap tinggi. Pada 12 April arah massa udara dengan PM2.5 yang tinggi mengarah ke Jakarta terdeteksi melalui stasiun pemantau kualitas udara milik Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat. Pemandangan ini menunjukkan banyaknya polusi udara dari Suralaya yang terbawa ke kota-kota sekitarnya yang mengarah ke Jakarta," tulisnya, dalam siaran pers yang diterima Suara.com, Jumat (8/5/2020).
Indonesia memiliki tingkat polusi udara paling berbahaya di kawasan Asia Tenggara. Rata-rata, setiap tahun sebanyak 38 ribu orang Indonesia diperkirakan meninggal karena infeksi pernafasan bagian bawah. Sekitar 3.000 hingga 6.000 dari angka kematian tersebut dapat dihindari dengan udara yang lebih bersih.
Dalam laporannya, peneliti CREA menulis transportasi, produksi dan konsumsi bahan bakar fosil, serta manufaktur tetap menjadi penghalang untuk mendapatkan kualitas udara yang lebih baik. Meskipun negara-negara lain telah beralih dari batu bara, Asia Tenggara malah menjadikannya sebagai energi yang diandalkan dengan mengorbankan kesehatan manusia dan pembangunan berkelanjutan.
Tanpa perbaikan dalam infrastruktur transportasi massal, urbanisasi di Asia Tenggara diikuti oleh meningkatnya jumlah kendaraan pribadi di jalan yang sangat besar, memperburuk lalu lintas dan juga kemacetan. Ketika beberapa negara sudah melonggarkan pemberlakukan lockdown mereka, kualitas udara berbahaya - baik lokal maupun regional - kemungkinan akan kembali. Hal itu dikarenakan masih banyak negara-negara di kawasan ini yang sangat bergantung pada industri penyebab pencemaran udara dan juga bahan bakar fosil.
Peneliti juga melihat saat pandemi, terlihat adanya hubungan sistem kehidupan kita dengan memperlihatkan banyaknya kerentanan dan kesenjangan dalam pemenuhan kebutuhan warga. Masalah kualitas udara perkotaan yang buruk muncul sebagai ancaman utama bagi kesehatan, lingkungan, dan kualitas hidup jutaan orang, bersamaan dengan masalah COVID-19 yang masih harus dihadapi.
Baca Juga: Bisakah Pendingin Udara Menyebarkan Virus Corona Covid-19?
Polusi udara adalah masalah yang bisa dikelola. Peningkatan kualitas udara yang terjadi saat ini mengkonfirmasi bahwa adalah mungkin untuk mengurangi polusi udara jika ada usaha yang dibuat untuk mengendalikan sumber utama masalah. Ini termasuk investasi dalam meningkatkan energi dan sistem transportasi dengan cara yang mementingkan kesehatan dan kesejahteraan manusia, serta ekonomi.
"Begitupun dengan mengintegrasikan pertimbangan kebijakan energi ke dalam perencanaan pengendalian kualitas udara, serta berinvestasi dalam energi terbarukan yang dapat membantu negara memenuhi target menjamin kesehatan masyarakat, lingkungan, dan energi. Memperluas dan memodernisasi transportasi dapat mendukung mobilitas dan menghasilkan banyak manfaat bagi individu dan industri, termasuk pengurangan kendaraan di jalan dan kemunduran lalu lintas," tutupnya.