Suara.com - Gara-gara Lockdown, Kualitas Udara di Asia Tenggara Alami Perubahan Drastis?
Penelitian menemukan dampak lockdown dan pembatasan sosial bagi kualitas udara di negara-negara Asia Tenggara. Apa katanya?
Kajian yang dilakukan oleh Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) menyebut dampak lockdown terhadap kualitas udara di Asia Tenggara cukup dramatis.
Di kota-kota besar seperti Kuala Lumpur, Manila, dan Bangkok misalnya, tingkat gas Nitrogen Dioksida (NO2) mengalami penurunan akibat berkurangnya transportasi dan pabrik. Bahkan, tingkat NO2 di Kuala Lumpur menurun hingga 60 persen dibandingkan dengan tahun 2019.
Baca Juga: Dikepung Wabah Corona, Kualitas Udara Jakarta Makin Membaik
Jakarta, yang memiliki tingkat polusi udara paling berbahaya di kawasan Asia Tenggara, tercatat mengalami penurunan NO2 sekitar 40 persen dari tahun lalu. Namun sayangnya sebaran PM 2.5 tetap konsisten dengan tahun-tahun sebelumnya.
Kondisi ini mengonfirmasikan penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa kualitas udara ambien Jakarta sangat dipengaruhi oleh polutan yang berasal dari wilayah tetangga, terutama pembangkit listrik dengan batu bara.
Tak berbeda dengan Jakarta, penurunan NO2 yang tidak dibarengi dengan berkurangnya polutan PM 2.5 juga dialami kota-kota seperti Hanoi dan Ho Chi Minh. Peningkatan PM 2.5 di kedua kota itu dipastikan berasal dari pembakaran batu bara dan industri di sekitar kota. Secara umum, kondisi seperti itu direplikasi di seluruh wilayah kota-kota besar yang berdekatan dengan pembangkit listrik tenaga batu bara.
"Penurunan polusi udara saat COVID-19 sama sekali tidak mengurangi dampak bencana penyakit ini pada kehidupan dan mata pencarian masyarakat di seluruh Asia. Namun, langit biru yang terlihat di atas kota-kota besar dapat menunjukkan apa yang sebenarnya dapat kita capai jika kita berinvestasi dalam energi bersih setelah krisis ini mereda," kata Isabella Suarez, Analis di Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih (CREA), dalam siaran pers yang diterima Suara.com.
"Penelitian kami menunjukkan bahwa polusi udara perkotaan merupakan akumulasi dari berbagai sumber. Mulai dari kendaraan dan lalu lintas, kegiatan industri, hingga pembangkit listrik tenaga batubara yang sangat berpolusi. Sederhananya, mengendalikan tingkat polusi dari semua sumber ini sama dengan lebih sedikit polusi yang dihirup. Pada akhirnya, lebih sedikit polusi berarti paru-paru lebih sehat dan lebih sedikit tekanan pada layanan kesehatan di masa kritis ini," tutur Isabella lagi.
Baca Juga: Kabar Baik, Kualitas Udara di India Membaik Selama Lockdown
Pencemaran udara di sebagian besar negara-negara Asia Tenggara sering melampaui hingga 5 kali batas yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada masa sebelum pandemi. Kondisi tersebut menjadikan polusi udara menjadi masalah lingkungan yang paling mengancam kesehatan manusia.
Di wilayah Asia Tenggara sendiri terdapat 799 ribu kematian per tahun akibat penyakit pernapasan kronis dan penyakit jantung, serta penyakit pendukung lainnya yang disebabkan oleh masalah polusi udara.
Bahan bakar fosil telah banyak ditemukan sebagai penyebab lebih dari 150 ribu kematian dini di seluruh dunia. Sedangkan kerugian dari sisi ekonomi akibat polusi udara dari bahan bakar fosil diperkirakan mencapai USD 2,9 triliun pada tahun 2018, atau 3,3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dunia.
Perbaikan kualitas udara saat ini masih anomali. Namun jika dibiarkan begitu saja setelah lockdown tak diberlakukan maka polusi udara akan kembali dengan cepat dan menjadi ancaman terhadap kesehatan dan kesejahteraan manusia.
"Melalui krisis ini, kita telah melihat sekilas seperti apa kehidupan dengan udara yang lebih mudah untuk bernapas. Tetapi mengubah ini menjadi kenyataan sehari-hari hanya dapat dicapai dengan menegakkan standar kualitas udara dan dengan cepat mengurangi bahan bakar fosil melalui cara yang konsisten dan berkelanjutan," tutupnya.