Menyedihkan, Kisah Tenaga Medis Kesulitan Memperoleh Tes Covid-19

Bimo Aria Fundrika Suara.Com
Kamis, 07 Mei 2020 | 05:00 WIB
Menyedihkan, Kisah Tenaga Medis Kesulitan Memperoleh Tes Covid-19
Tenaga kesehatan (medis) tengah melakukan pemeriksaan Covid-19. (dok: CISDI)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Menyedihkan, Kisah Tenaga Medis Kesulitan Memperoleh Tes Covid-19.

Memasuki minggu ke-9 infeksi wabah COVID-19 di Indonesia, masih terus meningkat. Hingga 5 Mei 2020 telah ditemukan 12.071 kasus positif dan 872 meninggal.

Di antara ribuan kasus positif tersebut, pemerintah Indonesia belum memiliki catatan jumlah tenaga kesehatan Indonesia yang terpapar, positif terkonfirmasi COVID-19 dan meninggal.

Ketidaksiapan dan keterlambatan pemerintah Indonesia dalam melakukan penanganan pandemi menyebabkan angka kesakitan dan kematian akibat COVID-19 terus meningkat. Bahkan, dr. Anggraini, SpPK, dokter yang bekerja di sebuah rumah sakit di Jakarta, menyampaikan kesulitan yang dialami dirinya dan rekan sejawat untuk memperoleh pemeriksaan.

Baca Juga: Tak Bisa ke Klinik, Lelaki Ini Nekat Suntik Filler Bibirnya Sendiri

Pemeriksaan Covid-19. (dok: CISDI)
Pemeriksaan Covid-19. (dok: CISDI)

“Meskipun saya dan rekan-rekan memiliki frekuensi kontak yang tinggi dengan pasien rumah sakit baik yang berstatus positif COVID-19, orang tanpa gejala, orang dalam pemantauan, maupun pasien dalam pengawasan, namun fasilitas pemeriksaan tetap diprioritaskan untuk masyarakat sesuai Standard Operating Procedure (SOP) dari pemerintah provinsi," kata Anggraini dalam keterangan pers yang diterima Suara.com, Rabu (6/5/2020).

Nyatanya, lanjut Anggraini, beberapa tenaga kesehatan dan staf di rumah sakit tempat dia bekerja berstatus positif COVID-19 meskipun tidak menunjukkan gejala-gejala COVID19.

"Oleh karenanya, kami membutuhkan pemeriksaan yang hasilnya dapat diketahui dengan cepat agar kami segera bisa menentukan perawatan selanjutnya dan tidak bekerja untuk mencegah penularan ke tenaga kesehatan lain atau bahkan pasien,” kata dia.

Sementara itu, Ketua Kolegium Urologi Indonesia dan Penggagas SBC,Prof. Dr. dr. Akmal Taher, SpU(K), menyatakan, jumlah ketersediaan RT-PCR tidak sebanding dengan kebutuhan tenaga kesehatan di lapangan.

“Saat ini, tenaga kesehatan memperoleh pemeriksaan RT-PCR jika mereka menunjukkan gejala dan berisiko tinggi," ujar Akmal.

Baca Juga: Tak Perlu Filler, Viral Tips Bikin Bibir Tebal dengan Cara Dipijat

Namun, belum ada aturan atau kesepakatan yang menetapkan frekuensi pemeriksaan RT-PCR harus dilakukan untuk memastikan tenaga kesehatan terlindungi dengan optimal.

Ketiadaan aturan atau kesepakatan terkait frekuensi pemeriksaan ini menjadi masalah, karena frekuensi pemeriksaan akan mempengaruhi jumlah kebutuhan RT-PCR yang harus disediakan bagi tenaga kesehatan sebagai kelompok risiko tinggi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI