"Pada perempuan yang terinfeksi, respons mereka berbeda. Kita melihat bahwa sedikit dari mereka mengalami peran yang kedua, respons imun yang tak teratur," jelasnya.
Para peneliti di Los Angeles menaruhkan harapan mereka pada progesteron ketimbang estrogen karena riset menujukkan hormon tersebut memproduksi sel-sel imun pro-inflamasi untuk melawan inflamasi.
Hipotesisnya, progesteron akan mencegah reaksi berlebihan yang berbahaya dari sistem imun, yang disebut badai sitokin, dan akan mengurangi kemungkinan terjadinya acute respiratory distress syndrome (ARDS).