Kelelawar dan manusia
Asia Tenggara dan China menjadi perhatian khusus karena sebagian besar populasi mereka melakukan kontak rutin dengan satwa liar, dengan berburu, menjualnya di pasar basah dan memakannya, menurut Daszak.
Setelah menganalisis sampel darah orang yang tinggal di dekat gua kelelawar di Kabupaten Jinning, Provinsi Yunnan pada 2015, tim Daszak menemukan 3% dari warga memiliki antibodi virus yang biasanya hanya ditemukan pada kelawar. Artinya, mereka telah terpapar sejak lama.
"Mereka mungkin secara tidak sadar telah menularkan patogen ini dan pulih atau hanya memiliki beberapa sel tubuh yang terinfeksi."
Baca Juga: Ditemukan Spesies Baru Kelelawar, Sepupu Jauh Penyebab Covid-19
Tapi, untuk 'melompat' ke manusia, virus corona harus dapat mengikat reseptor sel mereka, yang biasanya membutuhkan inang hewan perantara. Bisa berupa musang, unta, trenggiling, atau mamalia lain yang terkait erat dengan manusia.
Namun, virus itu biasanya dari kelelawar, yang membawa proporsi virus sangat tinggi dan mampu menginfeksi manusia, seperti Marburg, Nipah, Ebola, dan SARS.
"Karena kelelawar terbang mamalia, tubuh mereka terpapar banyak stres, yang biasanya akan menghasilkan respons sistem kekebalan."
"Untuk menghadapi ini, mereka harus menurunkan sistem kekebalan tubuh mereka, yang pada akhirnya membuat mereka lebih rentan terhadap virus dan mampu mentoleransi viral load yang lebih tinggi.”
Kelelawar juga membentuk sekitar 20% dari semua spesies mamalia dan berkumpul di koloni besar di gua-gua, membuat penyebaran virus di antara kelelawar lebih mungkin.
Baca Juga: Selain Corona Covid-19, Studi Temukan Kelelawar AS Bisa Sebabkan Virus Lain