"Tidak menjadikan pelayanan pemeriksaan rapid test screening Covid-19 sebagai persyaratan untuk pasien dapat dilayani oleh rumah sakit dan biaya pemeriksaanya dibebankan kepada pasien, karena hal ini bersifat menyesatkan,memaksa dan melanggar hak-hak pasien," tulis poin ketiga.
Poin terakhir ialah memastikan setiap pemeriksan harus berdasarkan kemampuan dan bidang dokter dengan penyakit yang bersangkutan dengan pasien.
"Bahwa pemeriksaan diagnostik dilakukan dengan mengikuti ketentuan dari organisasi profesi sehingga memiliki dasar keilmuwan yang berbasis bukti, serta interpretasinya hanya dapat dilakukan oleh dokter yang memiliki kompetensi," bunyi poin keempat.
Surat ini disampaikan juga kepada Menteri Kesehatan, Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten Kota, Ketua PERSI Wilayah, dan Ketua Umum Asosiasi Rumah Sakit.
Baca Juga: Pejabat China: Sudah Tidak Ada Pasien Covid-19 di Rumah Sakit Wuhan
Rapid test sendiri adalah metode tes menggunakan antibodi yang diambil melalui sampel darah. Dalam sampel darah dilihat apakah antibodi menunjukkan tanda virus masuk ke tubuh. Sayangnya, antibodi baru bisa akan terbentuk dengan hasil positif, setelah 6 sampai 7 hari virus menginfeksi tubuh.
Sehingga meski virus sudah masuk ke tubuh, tapi belum sampai 6 hingga 7 hari, maka hasilnya juga bakal tetap negatif. Itulah mengapa rapid test hanyalah sebagai skrining awal, dan bukan untuk memastikan terdiagnosis Covid-19.
Sedangkan diagnosis pasti untuk Covid-19 hanyalah bisa dilakukan melalui PCR dengan sampel yang diambil melalui metode swab di belakang kerongkongan dan hidung. Pemeriksaan juga dilakukan di laboratorium berkapasitas biosafety level (BSL) II.