Suara.com - Sejak ditetapkan statusnya sebagai pandemi, virus corona di Indonesia juga ditetapkan sebagai status kedarutatan kesehatan nasional, sesuai dengan Keputusan Presiden No. 11 tahun 2020.
Hingga Minggu (19/4/2020), tercatat ada sebanyak 6.575 kasus positif di Indonesia. Sebagi langkah penanggulangan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjuk 132 rumah sakit sebagai rujukan perawatan Covid-19.
Dalam perkembangannya, pemerintah daerah juga menambah rumah sakit yang dapat melayani Covid-19.
Namun dengan semakin bertambahnya daerah dengan tranmisi lokal, mau tidak mau hampir seluruh fasilitas kesehatan, baik itu fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) maupun fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKTRL), telah menangani pasien-pasien yang masuk kriteria Pasien Dalam Pengawasan (PDP) ataupun baru memeriksa Orang Dalam Pemantauan (ODP).
Baca Juga: Wajah Bermasalah Karena Pakai Masker Berjam-jam? Ini Saran Dokter Kulit!
Jika mengacu kepada UU no.4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan, dan UU no.6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, pembiayaan penyakit yang telah ditetapkan sebagai kejadian luar biasa (KLB) atau wabah sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah.
Hal ini telah ditegaskan dalam Keputusan Menteri Kesehatan No.104 tahun 2020 yang ditetapkan pada tanggal 14 Februari 2020.
Selanjutnya Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Kepmenkes No.238 tahun 2020 tentang petunjuk teknis klaim pembiayaan yang ditandatangani tanggal 6 April 2020.
Dari Kepmenkes ini, Dirjen Pelayanan Kesehatan Kemenkes telah mengeluarkan surat edaran no.1116 tahun 2020 pada tanggal 9 April 2020 yang ditujukan kepada dinas kesehatan dan direktur rumah sakit seluruh Indonesia perihal wajib lapor kasus Covid-19.
"Namun faktanya, sambil proses klaim ini berjalan, hingga hari ini pembiayaan pasien Covid-19 di rumah sakit maupun di FKTP belum mendapat penggantian. Beban rumah sakit dan FKTP selama wabah ini cukup signifikan berat, hal ini disebabkan penurunan kunjungan jumlah pasien ke fasilitas kesehatan," kata dr. Mahesa Paranadipa Maikel, MH, Ketua Umum DPP Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) dalam rilis resmi yang diterima Suara.com, Senin (20/4/2020).
Baca Juga: Bukan Bintang Biasa Reuni Virtual untuk Beri Semangat Lawan Corona
Ia melanjutkannya, ditambah dengan adanya surat edaran dari Dirjen Pelayanan Kesehatan no. 1118 tertanggal 9 April yang berisi imbauan untuk tidak melakukan praktik rutin kecuali dalam keadaan gawat darurat.
Hal ini menyebabkan pemasukan fasilitas kesehatan, khususnya rumah sakit dari klaim ke BPJS Kesehatan maupun dari pasien umum, menurun drastis.
Bagi FTKP yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan tidak memiliki banyak pengaruh karena ditopang dengan dana Kapitasi. Masalahnya adalah belum jelasnya mekanisme klaim pelayanan pasien Covid-19, lanjut dr. Mahesa.
Sehingga akibatnya beberapa rumah sakit akhirnya terpaksa memungut biaya dari pasien, bahkan meskipun pasiennya tergolong tidak mampu.
Bahkan ada rumah sakit yang mewajibkan setiap pasien, tak hanya yang termasuk suspek, untuk melakukan pemeriksaan rapid test maupun PCR.
Tentunya hal ini semakin memberatkan pasien ketika ingin mendapatkan layanan di rumah sakit.
Karena berdasarkan aturannya, jika keluhan pasien BPJS Kesehatan tidak berkenaan dengan Covid-19 seharusnya tidak dibebankan biaya tambahan karena dijamin dengan dana JKN.
Mahesa meminta problem pembiayaan harus segera diatasi, mengingat semakin bertambahnya kasus Covid-19, maka kemampuan rumah sakit dan FTKP harus dijaga agar tetap bisa melayani masyarakat.
Selain itu, perlindungan bagi seluruh petugas kesehatan harus juga diperhatikan dengan serius.
"Jika rumah sakit tidak lagi mampu membayar gaji dan jasa medik, dikhawatirkan pelayanan akan terhenti. Tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah harus benar-benar dijalankan," tegas Mahesa.
Oleh karena itu, MHKI mengimbau masyarakat untuk tetap menjaga kesehatan, Lebih baik di rumah jika tidak ada hal penting di luar rumah, dan gunakan masker jika keluar rumah.