Suara.com - Hati-hati, Trauma Masa Kecil Berisiko HIV Saat Dewasa, Kok Bisa?
Seseorang yang mengalami trauma masa kecil, atau sebelum berusia 18 tahun, berisiko mengalami gangguan kesehatan fisik saat dewasa.
Konseling trauma Nur Hidayati Handayani mengatakan, Pusat Perkembangan Anak di Universitas Harvard telah membuktikan hal tersebut melalui penelitian yang dilakukan pada 1995 hingga 1997.
"Penelitian menunjukkan dampak trauma masa kecil sebelum usia 18 tahun terhadap kesehatan fisik dan mental. Trauma ada tiga jenis yaitu siksaan, pengabaian, dan disfungsi keluarga," kata Handayani dalam media briefing koalisi Pekad melalui video online, Selasa (14/4/2020).
Baca Juga: 5 Terpopuler: Menkes Terawan Disorot Warganet hingga Viral Masker Penis
Ia memaparkan, tiga jenis trauma itu dielaborasi menjadi sepuluh tindakan yang bisa berakibat trauma pada anak. Di antaranya:
1. Mengalami siksaan emosi terus menerus
2. Siksaan fisik terus menerus
3. Sentuhan bersifat seksual atau aktivitas seksual
4. Pengabaian secara fisik, seperti mengalami paparan kondisi berbahaya sangat tinggi, tak punya akses baju bersih atau pun air bersih
Baca Juga: Hits: Viral Tas dari Tulang Manusia, Ini Wujud Mengagumkan 'Ratu Kegelapan'
5. Pengabaian secara emosi, seperti tidak dicintai, tidak dipenuhi kebutuhan emosinya
6. Tinggal dengan orang yang memiliki tantangan kesehatan mental cukup tinggi. Sehingga anak perlu merawat orang tersebut
7. Menyaksikan ibu atau ibu tiri disiksa secara fisik atau emosi secara terus menerus
8. Orangtua kandung bercerai
9. Salah satu keluarga di penjara
10. Ada anggota keluarga yang menyalahgunakan narkotika.
"Dalam kasus siksaan atau pengabaian, biasanya dilakukan orang dewasa yang tinggal serumah. Bisa orangtua atau saudara, yang pasti usianya lima tahun atau lebih di atas anak," ujar Handayani.
Tindakan trauma itu kemudian berdampak buruk pada kesehatan fisik seseorang saat dewasa.
Seperti dilansir dari, The National Child Traumatic Stress Network, anak-anak yang mengalami trauma yang kompleks lebih mungkin terlibat dalam perilaku berisiko tinggi, seperti melukai diri sendiri, praktik seksual yang tidak aman, dan pengambilan risiko berlebihan seperti mengoperasikan kendaraan dengan kecepatan tinggi.
Mereka juga dapat terlibat dalam kegiatan ilegal, seperti alkohol dan penggunaan narkoba, menyerang orang lain, mencuri, melarikan diri, dan / atau pelacuran, sehingga memungkinkan mereka memasuki sistem peradilan anak.
Hal ini yang kemudian menurut Handayani bisa berujung pada risiko obesitas tinggi, diabetes, depresi, percobaan bunuh diri, infeksi menular seksual dan HIV, jantung, kanker, stroke, juga patah tulang.