Terutama dalam kasus sedang (22,9 persen berbanding 2,8 persen) dan parah (16,7 persen berbanding 1,8 persen). Persentase dan perbedaan antara kelompok juga sama untuk kecemasan dan trauma.
Tim juga mengidentifikasi faktor-faktor tertentu yang berkorelasi dengan insomnia.
"Faktor yang paling penting adalah memiliki ketidakpastian yang sangat kuat mengenai pengendalian penyakit yang efektif di antara staf medis," kata Zhang. Ketidakpastian yang kuat adalah 3,3 kali lebih tinggi bagi mereka yang menunjukkan insomnia daripada tidak.
Para penulis mencatat bahwa petugas kesehatan juga berada di bawah tekanan luar biasa secara umum. Mereka berhubungan dekat dengan pasien yang terinfeksi yang dapat menularkan penyakit kepada mereka.
Baca Juga: Tidak Semua Warga DKI Dapat, Ini Syarat Penerima Bansos PSBB
Mereka khawatir akan menginfeksi keluarga dan teman mereka sendiri. Staf medis harus memakai serangkaian penuh alat pelindung diri (APD) selama lebih dari 12 jam pada suatu waktu, seringkali tanpa bisa istirahat karena mereka berisiko terinfeksi dengan melepas APD.
"Di bawah kondisi berbahaya ini, staf medis menjadi lelah secara mental dan fisik, dan karenanya mengalami peningkatan risiko insomnia karena stres tinggi," catat mereka.
Makalah ini menyoroti beberapa strategi untuk mengurangi gangguan tidur, termasuk Cognitive Behavioral Therapy for Insomnia (CBTI), yang mencakup pendidikan kebersihan tidur, terapi relaksasi, kontrol stimulasi, pembatasan tidur dan terapi kognitif.
Para peneliti juga menyarankan petugas kesehatan memeriksa staf medis berdasarkan faktor risiko yang diidentifikasi oleh penelitian mereka.
Baca Juga: Tingkatkan Kekebalan Tubuh dengan Vitamin E, Berapa Banyak yang Dibutuhkan?