Suara.com - Demi mendeteksi secara cepat virus SARS CoV 2 yang menyebabkan sakit Covid-19, pemerintah Indonesia memutuskan untuk membeli 1 juta kit alat pendeteksi virus corona jenis baru tersebut.
Tapi bukan metode PCR atau pengambilan sampel dengan swab lendir di mulut dan hidung, melainkan metode test yang menggunakan sampel darah.
Metode ini dikenal dengan istilah rapid test dan tidak memerlukan ruang pengetesan khusus seperti metode PCR yang membutuhkan laboratorium Biosafety Level (BSL) II.
"Untuk pemeriksaan massal kita akan melalui darah. Diambil sedikit kemudian dilakukan pemeriksaan dengan alat kit, hingga kemudian dalam waktu kurang dari 2 menit akan bisa kita selesaikan hasilnya," ujar Jubir Pemerintah untuk Covid-19 Achmad Yurianto di Graha BNPB, Jumat (20/3/2020).
Baca Juga: Jika Lockdown Diterapkan, Ini 6 Sektor yang Paling Terkena Dampak
Meski sensitivitas atau ketepatan deteksi lebih rendah dibanding metode PCR , metode rapid test dianggap cukup signifikan dalam mendeteksi kasus positif Covid-19.
Selanjutnya untuk penegasan kembali, pemerintah mengaku akan melakukan metode PCR sebagai 'second opinion' dari hasil rapid test yang dinyatakan positif.
"Apabila positif akan kita tindaklanjuti dengan pemeriksaan PCR, untuk memeriksakan positif yang sesungguhnya. Karena bisa saja positif ini terjadi pada orang yang sudah sembuh pada penyakit ini akan tunjukkan positif," ungkap Yurianto.
Ia melanjutkan, hasil positif Covid-19 dari metode rapid test bisa terjadi pada pasien Covid-19 yang sudah sembuh. Sementara hasil negatif rapid test juga bisa terdeteksi pada pasien positif Covid-19 yang baru terinfeksi.
Itu terjadi akibat kadar zat immunoglobulin, sejenis protein sebagai antibodi sistem imun yang belum terbentuk sempurna atau lambat mendeteksi kondisi tubuh.
Baca Juga: Sumbang Hasil YouTube untuk Lawan Corona, Atta Halilintar Tuai Pujian
"Oleh karena itu orang yang sembuh (Covid-19) pasti positif. Tetapi bisa saja, pada kasus yang terinfeksi bisa hasilnya negatif. Ini disebabkan karena memang respon immunologinya belum terbentuk, dan ini butuh waktu 6 sampai 9 hari (setelah terinfeksi)," jelas Yurianto.
Meski risiko false positive begitu tinggi, lelaki yang juga menjabat sebagai Dirjen P2P Kemenkes tersebut mengatakan bahwa metode rapid test menjadi pilihan terbaik dan tercepat guna menemukan dan memutus mata rantai penularan Covid-19.
"Tetapi ini penapisan terbaik dilakukan pemeriksaan secara massal, sehingga secara cepat bisa menemukan potensi positif yang ada di masyarakat," katanya.
Bantu Pemerintah, Lakukan Isolasi Mandiri
Bagaimana cara rakyat membatu usaha pemerintah dalam memutus mata rantai penyebaran Covid-19? Meski tidak semua bisa melakukannya, tapi menjaga diri dengan melakukan isolasi mandiri merupakan jawaban terbaik.
Achmad Yurianto mengatakan isolasi mandiri atau self isolation di kediaman masing-masing, bisa menjadi usaha tepat mengindari virus bagi orang yang sehat sekaligus mengenali gejala dan respon virus bagi yang terinfeksi.
"Tentunya ada panduan tentang ini, diharapkan ada di rumah lakukan kegiatan yang baik, pakai masker asupan gizi cukup, jaga jarak dengan anggota keluarga lain, dan dilakukan monitoring oleh petugas kesehatan," ungkapnya.
Isolasi mandiri juga dianggap efektif mengurangi beban tugas rumah sakit dan petugas medis di lapangan yang kewalahan mengahadapi wabah virus corona Covid-19.
Mengingat ruang rawat yang terbatas, alat yang seadanya, dan petugas medis yang kewalahan merawat pasien Covid-19 yang tiba-tiba membludak, masyarakat diharap mengetahui cara melakukan isolasi mandiri terutama bagi mereka yang dinyatakan positif Covid-19 tanpa gejala berarti.
"Ini upaya mengurangi beban rumah sakit, apabila ditemukan kasus manakala ditemukan kasus yang membutuhkan perawatan positif. Sementara kasus positif dengan skrining PCR, serta bergejala maka bisa kita siapkan ruang rawat," tutupnya.