Lika-liku Pasien Covid-19 di Indonesia, Wajib Dirawat Tapi RS Rujukan Penuh

Jum'at, 20 Maret 2020 | 07:55 WIB
Lika-liku Pasien Covid-19 di Indonesia, Wajib Dirawat Tapi RS Rujukan Penuh
Pasien Covid-19 sulit dapat kamar di RS rujukan pemerintah. (Suara.com/Iqbal)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - LIPUTAN KHAS: Lika-liku Pasien Covid-19 di Indonesia, Wajib Dirawat Tapi RS Rujukan Penuh

Anti (bukan nama sebenarnya) cemas dan bingung. Ia dinyatakan positif terinfeksi virus Corona Covid-19 oleh Dinas Kesehatan Jakarta setelah pulang dari Singapura pada 1 Maret 2020.

Sepulang dari Singapura, Anti mengalami gejala flu, yang diikuti oleh batuk kering dan nyeri tenggorokan di hari-hari berikutnya. Menyadari ia baru pulang dari negara terdampak virus Corona Covid-19, Anti pun berinisiatif menghubungi hotline Covid-19 yang disediakan Kementerian Kesehatan.

"Mereka menyarankan untuk tetap stay di rumah nanti ada pihak Puskesmas yang datang menjemput. Setelah itu Puskesmas memang datang menjemput aku untuk tes Covid-19," ujarnya, dalam video yang didapatkan Suara.com, Senin (16/3/2020).

Baca Juga: Lagi, Pasien Positif Corona di Grobogan Berbohong, 20 Perawat Wajib Isolasi

Ia pun menjalani tes Covid-19 dengan diambil lendir dari tenggorokan dan hidung. Setelah dinyatakan positif corona Covid-19 pada Sabtu (14/3), Anti langsung meminta untuk dibawa ke rumah sakit rujukan di Jakarta.

"Tetapi pihak puskesmas menginfokan enam rujukan rumah sakit itu penuh," ungkapnya.

Kejadian yang sama menimpa Tia (bukan nama sebenarnya), seorang pasien dalam pengawasan (PDP) yang dilepas dari rumah sakit tanpa pengawasan. Dalam akun Instagram Deddy Corbuzier, Tia menceritakan bahwa ia tidak mendapatkan informasi dan pelayanan kesehatan yang diharapkan saat berobat.

Justru, ia diminta pergi sendiri ke rumah sakit rujukan tanpa pengawalan ambulans. Padahal, hal tersebut justru meningkatkan risiko penularan Covid-19 ke masyarakat luas.

"Kalau aku males, terus tiba-tiba aku cuma mau tidur di rumah. Terus ternyata aku positif? Nah kayak apa? Asli ngeri deh," ungkapnya.

Baca Juga: Terapi Sel PLX, Enam Pasien Kritis dengan Covid-19 di Israel Selamat

Lain lagi cerita Stephan, seorang jurnalis media online yang juga memeriksakan diri setelah melakukan peliputan ke kafe yang diduga sebagai tempat pertemuan pasien 1 dan 2 dengan WN Jepang positif Covid-19. Ia mengalami gejala sesak napas saat tidur telentang dan tenggorokan gatal.

Pasien PDP virus corona dilepas tanpa pengawasan (instagram/@mastercorbuzier)
Pasien PDP virus corona dilepas tanpa pengawasan (instagram/@mastercorbuzier)

Ingin memastikan kondisi kesehatannya, Stephan pun memeriksakan diri ke salah satu RS rujukan di Jakarta Selatan pada Senin (16/3). Sayangnya, penanganan di RS tidak seperti imbauan pemerintah.

Dalam pantauan Stephan, pasien tidak memiliki kesadaran social distancing, tidak dipisahkan dengan pasien lain, hingga waktu tunggu konsultasi dokter yang terlalu lama.

"Sebenarnya rumah sakit ini menurut saya sudah benar menjalani prosedur, walau saya sebagai PDP tidak merasa terlalu diawasi (hanya diambil data saja). Kuncinya saat akan menjalani tes COVID-19 adalah kesabaran yang sangat ekstra," ungkapnya, yang hingga Rabu (18/3) belum mendapatkan hasil pemeriksaan.

Indonesia Punya 359 Rumah Sakit Rujukan, Tapi Pasien Diminta Isolasi Mandiri

Pemerintah pada Rabu (18/3) menyebut sudah ada 359 rumah sakit rujukan yang siap merawat dan mengobati pasien virus Corona Covid-19. Dikatakan Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Virus Corona, Achmad Yurianto, pemerintah sudah menunjuk 132 rumah sakit rujukan untuk Covid-19, yang kemudian ditambah lagi 109 RS milik TNI, 53 RS Polri, dan 65 RS BUMN sehingga totalnya menjadi 359 rumah sakit.

Namun pengumuman tersebut diikuti oleh pengumuman lain yang menyebut pasien dalam pengawasan (PDP) yang bukan kelompok risiko tinggi untuk mengisolasi diri rumah. Sontak, pengakuan PDP yang bingung dan cemas pun bermunculan di media sosial.

"Sekarang tak berarti bahwa kasus positif harus diisolasi di rumah sakit. Ada beberapa kasus positif tanpa gejala yang akan kita karantina, diisolasi di rumahnya secara mandiri," kata Yurianto di RSPI Sulianti Saroso, Kamis (18/3) saat ditemui Suara.com.

Selanjutnya: Isolasi Mandiri di Rumah, Pasien Covid-19 Bisa Jadi Super Spreader

Dikatakan Yurianto, pasien positif Covid-19 yang tidak menunjukkan gejala berat seperti sesak napas dan bukan kelompok risiko tinggi seperti lansia dengan penyakit penyerta, tidak perlu dirawat di rumah sakit. Sebab, Covid-19 adalah self-limited disease alias penyakit yang bisa sembuh sendiri.

Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P), Kementerian Kesehatan RI, itu melanjutkan bahwa meskipun isolasi mandiri dilakukan di rumah, seharusnya masyarakat tenang. Apalagi jika tahu isolasi mandiri tetap dalam monitoring petugas kesehatan setempat.

"Bahwa yang bersangkutan memiliki potensi untuk menularkan penyakitnya pada orang lain. Oleh karena itu yang paling penting di dalam konteks ini adalah bagaimana melakukan isolasi diri," sambungnya.

Langkah pemerintah yang memberikan isolasi mandiri pada PDP dan pasien positif Covid-19 ini mendapat reaksi keras dari Marius Widjajarta, Direktur Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan (YPPKI). Menurut Marius, isolasi mandiri di rumah justru meningkatkan risiko penyebaran virus Corona Covid-19 ke orang di sekitarnya.

Sebagai penyakit pernapasan, keberadaan pasien di ruang isolasi rumah sakit sangat penting. Mengingat berdasarkan penelitian, Coronavirus-SARS-CoV-2 merupakan virus yang mudah menginfeksi manusia hingga bisa tinggal berhari-hari di permukaan benda.

"Nggak bisa dong, kalau dia yang namanya suspect sesuai dengan aturan, ruang isolasi ada tekanan negatif. Nanti dia tahu-tahu positif, tetap aja di situ kan, dan penanganannya nggak jelas. Kalau di ruangan biasa di rumah dia jadi nyebar," ujar Marius kepada saat dihubungi Suara.com, Selasa (17/3).

Isolasi di Rumah, Pasien Covid-19 Bisa Jadi Super Spreader

Pendapat Marius juga diamini oleh Adib Khumaidi selaku Ketua Perhimpunan Dokter Emergensi Indonesia (PDEI). Dikatakan Adib, pasien positif Covid-19 berisiko besar menjadi super spreader jika diisolasi mandiri di rumah. Super spreader adalah istilah bagi orang yang menularkan penyakit wabah secara masif ke orang lain.

Jika diisolasi mandiri di rumah, pasien positif ini tidak adanya ketersediaan fasilitas yang membuat virus itu tidak tersebar, seperti ruangan bertekanan negatif. Itulah mengapa orang yang positif harus mendapat perawatan di ruangan rawat khusus.

Penampakan plang penunjuk arah ruang isolasi di RSPI Sulianti Saroso, Jakarta Utara. (Suara.com/Arga).
Penampakan plang penunjuk arah ruang isolasi di RSPI Sulianti Saroso, Jakarta Utara. (Suara.com/Arga).

"Karena kalau dia diisolasikan di rumah siapa yang bisa menjamin dia tidak bisa menularkan, karena satu orang dia itu bisa menular ke 5 orang," kata Adib.

Apalagi, informasi yang baru seputar penanganan wabah virus Corona Covid-19 masih awam di telinga masyarakat. Masyarakat tidak tahu bagaimana gejala, proses rujukan, hingga mendapatkan isolasi. Istilah seperti ODP dan PDP pun asing di telinga masyarakat.

Masih segar dalam ingatan, seorang pasien positif Covid-19 yang dirawat di RSUP Persahabatan 'kabur' dari ruang isolasi dengan bantuan keluarga.

"Yang kedua tidak terinformasikan. Sehingga dia dinyatakan ODP bahkan PDP, tapi dia masih keluar-keluar sehingga dikatakan kabur dari rumah sakitnya. Hal-hal inilah yang saya kira jadi kekurangan kita sehingga perlu diperbaiki ke depan," ungkap Adib.

Selanjutnya: Solusi Masalah RS Rujukan, Perlu Dibangun Rumah Sakit Khusus Virus Corona?

Di sisi lain, Marius menyoroti lemahnya standar pelayanan medik nasional, terutama di saat wabah. Hal ini yang membuat gerak pemerintah pusat terlihat lambat dan gagap, serta koordinasi yang tidak mulus dengan pemerintah daerah.

Ditambah keterbukaan informasi yang masih jadi tantangan pemerintah. Marius menyebut tidak masalah jika pemerintah membuka daerah-daerah secara spesifik paling banyak penyebaran, agar masyarakat lebih aware dan peduli. Langkah ini sangat penting, jika memang tujuan pemerintah memutus rantai penularan Covid-19. Sehingga tidak cukup dijelaskan per-provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, atau Jawa Tengah saja, karena aspeknya masih sangat luas.

"Pemerintah teriak masyarakat untuk aware, perlu peran serta masyarakat. Mau peran serta gimana kalau informasi nggak jelas dan jujur, kasih tahu daerah sini. Kasih tahu daerah mana Jakarta," tuturnya.

Solusi Masalah RS Rujukan, Perlu Dibangun Rumah Sakit Khusus Virus Corona?

Ketua Satgas Covid-19 dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Prof Zubairi Djoerban mengatakan prinsip isolasi tetap harus dijalankan sebagaimana standar idealnya tindakan isolasi. Jikapun rumah sakit rujukan penuh, maka harus dicari tempat khusus, dan bukan isolasi mandiri rumah.

"Prinsipnya kalau harus diisolasi ya diisolasi. Cuman kalau tempatnya terbatas ya dicari model yang mirip-mirip isolasi. Karena kalau misalnya kapasitasnya berapapun saya agak khawatir kalau terisi penuh. Jadi memang yang pada prinsipnya gejalanya ringan sekali, isolasi sederhana," ujar Prof Zubairi saat kepada Suara.com saat dihubungi Rabu (18/3).

Profesor yang berpengalaman mengepalai penanganan HIV-AIDS di Indonesia ini mengumpamakan tempat isolasi seperti penampungan korban banjir, yakni dibuat secara sederhana sebagai penampungan sementara. Meski begitu, perlengkapan dan beragam kebutuhan untuk proses isolasi harus lengkap.

Ia juga mengatakan jika melihat jumlah kasus positif dan banyaknya rumah sakit rujukan di seluruh Indonesia, rasanya sulit dipercaya jika semuanya penuh. Dalam keadaan darurat seperti sekarang, rumah sakit swasta juga harus dilibatkan.

"Iya kenapa tidak kalau darurat namanya wabah, harus ditangani semaksimal mungkin. Lagi pula dari jumlah sekarang 134 (kasus positif, per 16 Maret 2020) dan tidak mungkin tidak tertampung. Kalau dari angka sekarang masih bisa hanya komunikasi yang baik antar rujukan," ungkapnya.

Petugas Dinas Kesehatan DKI Jakarta mengenakan pakaian pelindung khusus saat menangani pasien yang diduga terkena virus Corona di ruang isolasi gedung Mawar Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Prof. Dr. Sulianti Saroso, Sunter, Jakarta Utara, Senin (2/3). [Suara.com/Angga Budhiyanto]
Petugas Dinas Kesehatan DKI Jakarta mengenakan pakaian pelindung khusus saat menangani pasien yang diduga terkena virus Corona di ruang isolasi gedung Mawar Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Prof. Dr. Sulianti Saroso, Sunter, Jakarta Utara, Senin (2/3). [Suara.com/Angga Budhiyanto]

Sementara itu Adib memiliki solusi lain. Ia mengatakan Indonesia seharusnya bisa membuat rumah sakit khusus virus Corona Covid-19 seperti yang dibangun di Wuhan, China, tempat penyakit ini bermula. Sebab di Indonesia, kasus positif yang ditemukan naik secara signifikan, bahkan bertambah lebih dari 50 kasus baru per hari.

"Bukan tidak mungkin seperti itu (RS di Wuhan). Jadi kalau kami mendorong ada 1 wilayah ada 1 tempat. di Jakarta ada Wisma Atlet atau satu wilayah di Pertamina Jaya, saya kira itu satu usulan cukup bagus. Progresif ke sana saat ini juga sudah dipersiapkan," terangnya.

Demografi Indonesia sebagai negara kepulauan memang menyulitkan pelayanan kesehatan yang terpusat. Maka dari itu,rumah sakit khusus Covid-19 ini tidak hanya dibangun untuk mengakomodasi wilayah DKI Jakarta atau di pulau Jawa saja. Idealnya, rumah sakit khusus Covid-19 ini harus ada di setiap provinsi di Indonesia.

"Wilayah sekarang trennya naik, Jawa Tengah, Jawa Timur harus disiapkan rumah sakit khusus. Sehingga nanti bener-benar diisolasi dan dilakukan perawatan, karena bukan tidak mungkin jika outbreak ini semakin berkembang, sepertinya halnya di negara-negara lain," tutupnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI