Suara.com - Pikun yang dulunya banyak dialami lanjut usia (lansia), ternyata bisa juga dialami kaum muda alias usia produktif.
Kondisi tersebut terjadi selain karena faktor genetik, gaya hidup tidak sehat juga bisa menjadi pemicunya.
Apalagi kehidupan modern yang serba cepat dan instan menyebabkan gaya hidup sebagian besar masyarakat cenderung tak sehat, termasuk pola makan tidak sehat, kebiasaan buruk seperti merokok, stres, kurang tidur karena lembur atau alasan lainnya, minim aktivitas fisik, dan masih banyak lagi.
Padahal gaya hidup yang tak sehat itu, kata Dr. dr. Yuda Turana Sp.S, penulis buku “Stop Pikun di Usia Muda” bisa memicu masalah kesehatan seperti hipertensi dan diabetes.
Baca Juga: Konsumsi Alkohol Setiap Hari dapat Mempercepat Proses Penuaan Otak
Berbagai fakta penelitian bahkan menunjukkan hipertensi, diabetes, merokok, kurang tidur, stres, dan kesendirian (kesepian, sambung dia, bisa menyebabkan otak mengecil lebih cepat.
Lantas, apa dampaknya bila otak mengecil? "Tentu saja bisa mengakibatkan gangguan memori yang berujung kepikunan (demensia)," ujar Yuda yang juga pakar neurologi dari Universitas Atmajaya ini.
Umumnya demensia, lanjut dia, lumrah ditemui pada orang lanjut usia. Ini dikarenakan, kata Yuda, seiring bertambahnya usia, volume otak akan mengecil disebabkan sebagian sel mulai mengalami kerusakan.
Namun, gaya hidup tak sehat atau kebiasaan buruk di usia muda juga bisa menyebabkan proses penyusutan otak terjadi lebih cepat.
Oleh karena itu ia mengimbau generasi muda (usia produktif) untuk menerapkan gaya hidup sehat dan menjauhi kebiasaan buruk agar terhindar dari risiko kepikunan di usia muda.
Baca Juga: Coba Yuk, 4 Olahraga Untuk Jaga Kesehatan Otak
"Olahraga, nutrisi, kebiasaan hidup sehat, istirahat cukup dan berkualitas, serta mampu mengelola stres dapat mencegah kepikunan di usia muda,” jelas dia.
Nah, bila Anda penasaran mengapa hipertensi, diabetes, merokok, kurang tidur, stres dan kesepian bisa menyebabkan otak mengecil sehingga berisiko mengalami kepikunan (demensia), simak ulasan lengkapnya di halaman selanjutnya.
1. Hipertensi
Sebuah penelitian baru yang dipublikasikan dalam jurnal The Lancet Neurology berhasil mengungkap bahwa peningkatan tekanan darah (hipertensi) ketika memasuki usia 30-40 tahun diikuti oleh penurunan kesehatan otak.
Para ilmuwan menemukan fakta hipertensi yang terjadi di usia 30-40 tahun dapat menyebabkan rusaknya pembuluh darah di otak ketika menginjak usia 70 tahun nanti sehingga dapat memperkecil volume otak.
"Penelitian ini memungkinkan kami untuk mengungkap hubungan antara tekanan darah dan kesehatan otak. Dalam penelitian ini kami menemukan fakta bahwa hipertensi dapat memiliki efek pada kesehatan otak untuk empat dekade mendatang," terang Profesor Jonathan Schott dari University Collage London, seperti yang dikutip dari The Independent.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh ahli fisiologi dari Universitas Nasional Irlandia, Dr Karen Doyle.
Menurutnya, meningkatnya tekanan darah penderita hipertensi di usia paruh baya berpotensi menyebabkan lesi otak dan mengecilnya volume otak di kemudian hari.
Meski ilmuwan tidak menemukan hubungan antara hipertensi dengan penyakit Alzheimer, namun meminimalisir penyebab hipertensi terdengar masuk akal untuk melindungi fungsi otak di kemudian hari.
2. Diabetes
Pengidap diabetes atau disebut pula diabetesi biasanya akan mengkhawatirkan komplikasi, seperti luka yang tak kunjung sembuh karena bisa menyebabkan infeksi atau bahkan amputasi.
Padahal, ada banyak sekali komplikasi lain dari penyakit yang memang sangat sulit untuk disembuhkan. Salah satunya yang banyak orang belum tahu adalah bisa menyebabkan ukuran otak mengecil. Kok bisa?
Berdasarkan sebuah penelitian yang dipublikasikan oleh Daily Mail, diabetes bisa membuat ukuran otak penderitanya yang berada di usia pertengahan mengecil dengan signifikan.
Kondisi tersebut pada gilirannya berdampak pada penurunan kondisi kesehatan mental diabetesi saat lanjut usia.
Menurut para peneliti, diabetesi tipe dua bahkan bisa mengalami penurunan kemampuan memori dan lisan hanya dalam waktu 5 tahun.
Dalam penelitian ini, para peserta dengan usia rata-rata 68 tahun yang menderita diabetes tidak mengalami kerusakan otak di awal penelitian, namun setelah beberapa tahun, ukuran otak mereka mengecil dan akhirnya mulai mengalami berbagai masalah kesehatan, termasuk kecerdasan dan gangguan mental.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh para ahli dari University of Tasmania dan dipublikasikan dalam jurnal berjudul Diabetologia ini, disebutkan bahwa diabetes ternyata berpengaruh besar pada risiko demensia.
Para peneliti juga menyebutkan bahwa penyebab utama dari kondisi ini terkait dengan obesitas, gaya hidup, dan pola makan atau diet.
3. Merokok
Penelitian yang dilakukan peneliti di Montreal Neurological Institute di McGill University dan University of Edinburgh mengungkap bahwa rokok tak hanya menghambat pertumbuhan fisik, melainkan juga otak.
Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa merokok alam jangka waktu lama bisa membuat bagian penting pada otak mengecil.
Bagian tersebut adalah lapisan cortex pada otak. Lapisan cortex merupakan bagian paling luar dari otak yang berkaitan dengan fungsi kognitif penting seperti penyimpanan ingatan, kemampuan berbahasa, dan persepsi.
Tak hanya itu, dikutip Science Daily, penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa berhenti merokok bisa membantu mengembalikan keadaan lapisan cortex menjadi lebih baik meski tidak persis sama dengan semula, seperti dilansir oleh
Kesimpulan ini didapat setelah peneliti mengamati 244 lelaki dan 260 perempuan yang dibagi menjadi tiga kelompok yaitu kelompok perokok, mantan perokok, dan orang yang tidak merokok.
Usia rata-rata partisipan adalah 73 tahun. Semua partisipan diperiksa pada mas kanak-kanak, yaitu di tahun 1947. Selanjutnya peneliti menggunakan data tersebut untuk dibandingkan dengan scan MRI saat partisipan dewasa.
"Kami menemukan bahwa lapisan cortex mantan perokok dan perokok, pada usia 73 tahun, lebih tipis dibandingkan dengan orang yang tak pernah merokok. Meski begitu, mantan perokok memiliki cortex yang lebih baik dibandingkan yang masih merokok," terang ketua peneliti Dr Sherif Karama dari McGill University.
Meski begitu, lanjut dia, tak semua mantan perokok memiliki lapisan cortex yang sehat dan kembali pulih seperti semula.
Orang yang merokok lebih dari 25 tahun masih memiliki lapisan cortex yang tipis dan lebih rapuh.
Lapisan cortex memang bisa menipis secara alami karena proses penuaan, namun pada perokok lapisan cortex menipis lebih cepat.
"Para perokok harus mengetahui bahwa kebiasaan merokok akan membuat lapisancortex pada otak mereka semakin menipis dan bisa memicu penurunan kemampuan kognitif saat mereka menua," jelas Dr Karama
4. Kurang istirahat atau tidur
Sebaiknya seseorang tidur selama 7-8 jam. Saat tidur, tak hanya tubuh yang istirahat, tetapi juga otak. Oleh karena itu tidur atau istirahat cukup dan berkualitas sangat berpengaruh pada kesehatan otak.
Kurang tidur bisa membuat sel-sel otak lebih cepat mengalami kerusakan, termasuk volume otak yang mengecil lebih cepat.
5. Stres
Banyak penelitian menunjukkan stres buruk bagi kesehatan, tapi tahukah Anda bahwa faktanya stres ternyata juga bisa berdampak buruk bagi kesehatan otak.
Studi yang dipublikasikan dalam jurnal Neurology menyebutkan bahwa orang dewasa paruh baya dengan tingkat kortisol atau hormon stres tertinggi memiliki volume otak dan fungsi kognitif yang lebih rendah daripada orang yang tingkat stresnya lebih rendah.
Hormon kortisol sendiri dibutuhkan dalam berbagai proses tubuh termasuk metabolisme, pembentukan kekebalan, hingga pembentukan ingatan. Namun pada orang yang tingkat stresnya tinggi, hormon kortisol dapat memberi efek buruk bagi kesehatan.
Penulis studi Dr. Sudha Seshadri, seorang profesor neurologi di UT Health San Antonio, mengatakan bahwa temuan ini melibatkan lebih dari 2.200 orang dewasa yang berpartisipasi dalam Studi Jantung Framingham, dengan usia rata-rata 48 tahun.
Setiap orang menjalani pemeriksaan psikologis, yang menguji memori dan kemampuan berpikir selama 8 tahun.
Responden juga diminta untuk memberikan sampel darah, yang digunakan para peneliti untuk mengukur kadar kortisol, dan melakukan scan MRI untuk mengukur volume otak.
Setelah menganalisis hasil penilaian tersebut, peneliti menemukan hubungan antara peningkatan kadar kortisol dan volume total otak yang lebih rendah, serta skor yang lebih rendah pada tes memori dan kecerdasan pada responden.
Seshadri pun merekomendasikan masyarakat untuk melakukan relaksasi di sela-sela kesibukannya.
Tak hanya bermanfaat untuk meredakan stres, tetapi juga sekaligus dapat menurunkan kadar kortisol.
Kegiatan yang telah terbukti dapat mengurangi stres antara lain meditasi, olahraga, yoga, tidur yang cukup, dan berosialisasi.
"Ini adalah beberapa upaya yang dapat menurunkan kortisol. Selain membuat Anda tidak stres, kegiatan ini juga dapat membawa keuntungan bagi fungsi kognitif Anda," tandas dia.
6. Kesepian
Tinggal seorang diri di tempat yang terisolasi dan menyebabkan rasa kesepian dapat menyebabkan otak mengecil.
Dikutip dari Live Science, studi terbaru yang dipublikasikan dalam The New England Journal of Medicine menemukan bahwa orang yang menghabiskan waktu menyendiri ternyata punya ukuran otak yang akan mengecil seiring waktu.
Penelitian ini dilakukan pada orang yang melakukan ekspedisi di Antartika selama 14 bulan. Peneliti memindai otak para ekspedisi sebelum dan sesudah perjalanan.
Hasilnya, peneliti menemukan adanya beberapa bagian otak yang mengalami penyusutan sehingga membuat otak mengecil.
Bagian yang menyusut paling signifikan adalah hippocampus, bagian penting untuk pembelajaran dan memori yaitu hippocampus. Rata-rata bagian otak itu menyusut 4-10 persen dalam 14 bulan.
Penyusutan pada bagian itu dapat membuat stimulasi otak berkurang.
Peneliti dari University of Pennsylvania, Alexander Stahn menjelaskan penyusutan otak akan merusak kemampuan proses emosi dan berinteraksi dengan orang lain. Hal ini terjadi karena hippocampus merupakan bagian penting untuk fungsi kognitif.
Para ekspeditor yang kehilangan volume otak juga terbukti memiliki kinerja yang lebih buruk pada tes spasial dan perhatian, dibandingkan dengan skor sebelum melakukan ekspedisi.
Area lain dari otak yang juga menyusut di antaranya adalah korteks serebral atau lapisan luar otak yang keribur, parahippocampal kiri, korteks prefrontal dorsolateral, dan korteks orbitofrontal kiri.
Hasil ini serupa dengan pengamatan yang sebelumnya dilakukan pada tikus. Studi itu menemukan isolasi dan rasa kesepian yang lama membuat otak menyusut. Hidup di lingkungan yang monoton membuat otak bagian hippocampus mengecil.
Peneliti lalu menyimpulkan bahwa rasa kesepian atau isolasi yang berkepanjangan membuat otak mengecil dan merusak fungsi kognitif seperti memori.