Gadis Bunuh Balita di Sawah Besar, Psikolog: Lingkungan Juga Punya Andil

Selasa, 10 Maret 2020 | 14:15 WIB
Gadis Bunuh Balita di Sawah Besar, Psikolog: Lingkungan Juga Punya Andil
Salah satu gambar gadis pembunuh balita di Sawah Besar. [Suara.com/Alfian Winanto]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Banyak orang mempertanyakan motif dan penyebab NF, gadis 15 tahun yang membunuh balita di Sawah Besar, Jakarta Pusat. Perilaku NF yang penuh misteri, seperti menyembunyikan mayat di dalam lemari hingga melaporkan diri tanpa rasa bersalah ke Polsek Taman Sari, Jakarta Barat, menimbulkan tanda tanya.

Banyak yang mengatakan perubahan sikap NF disebabkan karena NF tumbuh sebagai anak broken home. Benarkah demikian?

Meski tidak mendiagnosis dan memeriksa langsung NF, psikolog Liza M Djaprie mendapatkan informasi dari pemberitaan dan menduga broken home bukan satu-satunya faktor penyebab kekejaman NF, tapi bisa berpengaruh.

"Broken home itu pengaruh, tapi banyak kok anak broken home tidak sampai sebrutal itu. Jadi memang ketika kondisi fatalistik seperti ini yang terjadi, itu sudah pasti bukan singel factor penyebabnya," ujar Liza saat dihubungi Suara.com, Selasa (10/3/2020).

Baca Juga: Film Thriller Jadi Inspirasi NF Lakukan Pembunuhan, Ini Kata Psikolog

NF diperkirakan sudah memiliki bibit, atau sudah memiliki gangguan kepribadian yang jadi faktor utama. "Bibitnya, apakah dia gangguan kepribadian psikopat atau dia gangguan skizofrenia," tutur Liza.

Saat bibit sudah ada, faktor lain ikut memicu atau memupuk bibit itu semakin berkembang, seperti broken home, suasana rumah tidak kondusif, juga faktor lingkungan yang tidak mendukung keadaanya.

"Jadi, ayah sibuk bekerja, nggak tahu hubungan adik tiri bagaimana, belum lagi mereka tinggal di lingkungan padat, stres banyak, saling senggol, ribut, atau dia mendapat kecaman anak broken home misalnya. Di sekolah kita nggak tahu ada bullying, apakah nggak ada temen, apakah dia sering diejek, atau dimarahi guru, ini semua pupuknya," jelasnya.

Saat itu terjadi, psikolog yang berpraktik di RS Jiwa Dharmawangsa itu kemudian memperkirakan, si anak yang diduga tidak dalam pengawasan orangtua itu, kemudian menonton film sadis, di mana tontonan audio visual bisa dengan mudah diterima otak anak.

"Subur berkembang, ada ide liar, dia nggak tahu mau ngomong sama siapa. Ada bisikan-bisikan yang memperkuat hal tersebut, ya sudah, makin jadi," paparnya.

Baca Juga: NF Pembunuh Balita dalam Lemari Mulai Berubah Sejak Ayah Nikah Lagi

"Karena gangguan szikofrenia itu tidak ada empati dan kasih sayang, rasa sayang tidak ada. Harus ingat, dia pernah cincang kodok. Nggak semua anak mampu dan tahu, tega-teganya kodok dicincang, itu nggak ada yang rangkul dia," sambungnya.

Saat anak menunjukkan perilaku-perilaku ini, sudah seharusnya, kata Liza, orang sekitar lebih aware dan peduli, dengan bertanya keadaan anak dan mengajaknya bercerita. Termasuk itu tugas orangtua, keluarga, tetangga, guru, dan sebagainya.

"Tapi dia sempat cerita sama tetangga, dari gambar dia kelihatan, dia aktif di media sosial. Apakah di media sosial tidak ada temannya? Tidak ada gurunya? Tetangga tidak ada yang melihat postingan dia? Kan gambar dark banget, apakah itu tidak yang merangkul?" paparnya.

Jadilah semuanya dugaan bibit gangguan szikofrenia dan psikopat itu semakin berkembang, dengan kondisi lingkungan sebagai pupuk. Lalu terjadilah perbuatan kejam yang sangat keji dilakukan oleh gadis remaja itu.

"Sudah jelas anak ini punya kemarahan yang terpendam luar biasa, jadi ketika kodok itu lewat, sekarang sialnya kebetulan kena anak umur 5 tahun ini, kebetulan dia ada di situ," tutupnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI