Suara.com - Berita mengenai seorang gadis ABG di Taman Sari bunuh bocah 6 tahun menggemparkan banyak pihak.
Seperti yang diberitakan, ABG berinisial NF (16) itu menyerahkan diri ke Polsek Metro Taman Sari Jakarta Barat pada Jumat (6/3/2020) pagi. Dia mengaku telah membunuh korban.
Jasad bocah malang yang merupakan anak tetangganya sendiri itu sempat disimpan di dalam lemari pakaian rumahnya.
Usai menghabisi nyawa korban, pelaku NF justru mengaku merasa puas. Ia bahkan tak sedikitpun menyesali perbuatannya.
Saat polisi menyelidiki lebih lanjut, diketahui fakta bahwa NF punya kebiasan menonton film horor yang memiliki adegan sadis.
Baca Juga: Jerat Gadis Pembunuh di Sawah Besar, Polisi Gunakan UU Peradilan Anak
Salah satunya, dia suka menonton film Chucky. Di mana menceritakan seorang boneka mainan anak-anak yang bisa hidup dan suka membunuh, sarat adegan kekerasan dan darah.
Dari sana, terungkap motif sementara pelaku melakukan pembunuhan anak tetangganya itu karena terinspirasi dari film horor sadistis.
Mendengar berita ini, mungkin orangtua menjadi khawatir bahwa film yang mengandung kekerasan dapat memengaruhi anak berbuat kriminal.
Namun sebenarnya, dalam sebuah studi, menunjukkan bahwa film-film bergenre horor dan kekerasan dengan rating 13 tahun ke atas tidak akan mengubah anak menjadi penjahat, dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Dikutip dari WebMD, sebuah penelitian yang diterbitkan pada Januari 2019 di jurnal Psychiatric Quarterly menunjukkan data baru yang mematahkan teori bahwa film mengerikan memicu kekerasan pada anak.
Baca Juga: Mama Anjani Bee ke Pembunuh: Anak Saya Salah Apa? Kok Tega Begitu
Para peneliti menemukan bahwa ketika film rating 13 ke atas menjadi lebih ganas antara tahun 1985 dan 2015, angka pembunuhan dan kekerasan secara keseluruhan benar-benar turun.
"Tampaknya tidak ada film dengan peringkat PG-13 yang berdampak pada pemirsa," kata ketua peneliti Christopher Ferguson, seorang profesor psikologi di Stetson University di DeLand.
Anak-anak dapat memerankan kembali hal-hal yang mereka lihat dalam film selama bermain, kata Ferguson. Tapi hal itu tidak berubah menjadi kekerasan dalam kehidupan nyata, seperti intimidasi atau serangan.
Ia menambahkan bahwa ketakutan dan kecemasan adalah reaksi emosional yang lebih umum usai menonton film kekerasan maupun horor sadis.
Mengutip Huffpost, perlu dilihat faktor risiko serius lainnya yang dapat menyebabkan seseorang menjadi agresif atau kasar. Juga, cara kekerasan dirasakan tergantung pada anak dan usianya, kepekaan unik, temperamen individu, minat pada apa yang dia tonton, dan bahkan rumah serta lingkungan sosial.
Oleh karena itu, para ahli merekomendasikan orangtua untuk mendampingi anak saat nonton film horor dan lainnya. Sehingga, orangtua dapat membantu anak merespons perasaan dan ketakutan tentang apa yang mereka tonton.