PERHOMPEDIN Jogja: Kurang Gerak Penyebab Kasus Kanker di Indonesia Tinggi

Sabtu, 15 Februari 2020 | 08:42 WIB
PERHOMPEDIN Jogja: Kurang Gerak Penyebab Kasus Kanker di Indonesia Tinggi
UGM kerjasama dengan University of Leeds dalam mengatasi kasus kanker di Indonesia (HiMedik/Shevinna)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sejak awal tahun 1990, tren penyebab kematian di Indonesia meliputi kecelakaan, penyakit menular dan penyakit tidak menular. Adapun penyakit tidak menular (PTM), termasuk stroke, jantung iskemik, kanker dan diabetes melitus.

Saat itu penyebab kematian akibat PTM masih tergolong kecil, yakni 37 persen. Tetapi seiring berjalannya waktu, kasus kematian akibat PTM meningkat hingga 57 persen di tahun 2000, melebihi kasus penyakit menular.

Berdasarkan data Riskesdas tahun 2007 dan 2013, tingginya kematian akibat PTM di Indonesia ini disebabkan oleh gaya hidup masyarakat yang kurang aktivitas fisik, yakni sekitar 26,1 persen.

Sedangkan, penyebab lainnya meliputi pola makan kurang sehat dan kebiasaan merokok yang meningkat. Menurut data, sekitar 36 persen pria sudah mulai merokok usia 15 tahun dan 1,9 persen wanita usia 10 tahun mulai merokok.

Baca Juga: Top 5 Olahraga: Pahlawan Bulutangkis RI Wafat, Imbas Virus Corona

Ketua PERHOMPEDIN Cabang Yogyakarta sekaligus Kepala Divisi Hematologi-Onkologi Medik, Departemen Penyakit Dalam, FKKMK UGM dr. Johan Kurnianda, pun mengatakan salah satu PTM yang menyebabkan kematian tertinggi adalah kanker.

UGM kerjasama dengan University of Leeds dalam mengatasi kasus kanker di Indonesia (HiMedik/Shevinna)
UGM kerjasama dengan University of Leeds dalam mengatasi kasus kanker di Indonesia (HiMedik/Shevinna)

Di Indonesia, kanker yang paling rentan menyerang wanita seperti kanker payudara, leher rahim, paru-paru dan usus. Sedangkan, pria lebih rentan menderita kanker paru-paru, usus dan lambung.

Dalam hal ini, angka kejadian kanker paru-paru pada pria hampir sama dengan tingkat kematiannya. Johan Kurnianda mengatakan kasus kanker di Indonesia ini sangat berbeda dengan negara di Eropa.

"Saya mengambil contohnya kanker usus. Di Eropa, kanker itu penyakitnya para pensiunan. Tapi di Indonesia, kanker itu penyakitnya orang produktif di bawah usia 50 tahun. Kanker kita juga memiliki faktor risiko yang berbeda dengan di sana," jelas dr. Johan Kurnianda, Jumat (14/2/2020).

Johan Kurnianda juga mengatakan banyak pasien kanker di Indonesia baru datang ke rumah sakit setelah stadium 3 atau 4. Padahal kanker stadium 3 hingga 4 sudah tergolong sulit disembuhkan.

Baca Juga: Dihimpit Virus Corona dan Perang Dagang, Bagaimana Nasib Ekonomi Indonesia?

Selain itu, Johan Kurnianda juga menyoroti penyebab kanker akibat kebiasaan kurang aktivitas fisik. Hal ini tidak hanya berguna untuk orang yang belum terkena kanker, tetapi juga pasien dan mantan penderita kanker.

"Salah satunya yang menyebabkan kanker itu malas bergerak. Padahal aktivitas fisik ringan yang dilakukan terus-menerus itu sudah cukup mengurangi risiko kanker," jelasnya.

Pakar Physical Activity Dr. Shaunna Burke dari School of Biomedical Science, University of Leeds, mengatakan aktivitas fisik sangat berperan penting dalam pencegahan, terapi maupun kesintasan pasien kanker.

"Sudah ada penelitian yang membuktikan kalau aktivitas fisik bisa mengurangi risiko beberapa jenis kanker. Salah satunya, berkurangannya risiko kanker payudara dan kanker kolorektal hingga 40 persen," kata Dr. Shaunna Burke.

Selain itu, aktivitas fisik juga membantu menurunkan efek samping pasien kanker secara fisik dan psikologis. Dalam hal ini, aktivitas fisik bisa menurunkan depresi, kecemasan dan tingkat stres pasien kanker.

Dr. Shaunna Burke juga mengatakan aktivitas fisik bisa membantu meningkatkan kualitas hidup para penyintas kanker.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI