Suara.com - Studi: Menopause Dini Tingkatkan Risiko Penyakit Kronis Pada Perempuan
Menopause dini bukan sekadar membuat perempuan tak lagi bisa hamil di usianya. Penelitian ilmiah menyebut menopause dini juga berpotensi meningkatkan risiko perempuan mengalami penyakit kronis. Benarkah?
Dilansir VOA Indonesia, perempuan yang mengalami menopause dini, hampir tiga kali lebih besar kemungkinannya mengalami beberapa masalah medis kronis pada usia enam puluhan, dibandingkan perempuan yang mengalami transisi pada usia 50 atau 51 tahun.
Studi baru yang diterbitkan dalam jurnal medis Human Reproduction untuk pertama kalinya mengamati kaitan antara waktu menopause alami dan timbulnya beberapa masalah medis, yang dikenal sebagai multimorbiditas.
Baca Juga: Kisah Cathy, Tak Bisa Punya Keturunan karena Menopause di Usia 13 Tahun
Sebagaimana dilaporkan AFP, data tersebut diambil dari 5.100 lebih perempuan yang terdaftar dalam survei kesehatan nasional Australia.
Para perempuan itu melaporkan setiap tiga tahun sekali dari 1996 hingga 2016 apakah mereka telah didiagnosis menderita salah satu dari 11 penyakit, termasuk diabetes, tekanan darah tinggi, penyakit jantung, stroke, radang sendi, osteoporosis, asma, depresi, kecemasan atau kanker payudara.
Multimorbiditas didefinisikan memiliki dua atau lebih penyakit-penyakit tersebut pada saat yang bersamaan.
Perempuan dianggap telah memasuki menopause alami setelah 12 bulan tidak datang bulan. Setelah 20 tahun, separuh lebih dari 2,3 persen perempuan yang mengalami menopause dini juga mengalami multimorbiditas.
Dibandingkan dengan perempuan yang mengalami menopause pada usia 50-51 tahun, mereka dua kali lebih besar berisiko multimorbiditas pada usia 60 tahun, dan tiga kali lebih besar kemungkinan mengalaminya setelah 60 tahun.
Baca Juga: 8 Penyebab Keringat Berlebih di Malam Hari, Salah Satunya Menopause
"Empat puluh lima persen perempuan yang menopause dini menderita multimorbiditas pada usia 60-an dibandingkan dengan 40 persen perempuan yang menopause pada usia 50-51," kata salah seorang penulis studi, Xiaolin Xu, profesor riset di Universitas Zhejiang China.