Suara.com - Beberapa jenis ular memiliki bisa (venom) yang mematikan dalam melumpuhkan mangsa. Di Indonesia sendiri, angka kematian akibat bisa ular masih terbilang tinggi. Karena itu, Tri Maharani, seorang dokter sekaligus Kepala IGD RS Daha Husada Kediri Jawa Timur mendedikasikan waktu untuk penyelamatan korban ular berbisa.
Dilansir dari Antara, ia nekat berangkat ke Bangkok untuk membeli antivenom monovalen daboia rusell siamensis meski tak punya dana. Kata dia, obat ini hanya diproduksi dan dijual di Thailand oleh QSMI Taiwan dan Myanmar.
Ia mengisahkan pada 14 Januari 2020, ia ditelpon oleh tiga dokter yang bertugas di Kabupaten Lembata. Mereka melapor bahwa ada pasien gigitan ular dalam kondisi sangat buruk.
Pasien terus mengalami pendarahan di mulut, hidung dan dan mengalami kegagalan nafas sampai harus diberi ventilator pada bedah dan anestesi. Para dokter sudah berusaha menolong pasien namun tak mengetahui jenis ular apa yang yang menggigit.
Baca Juga: Selidiki Virus Corona, Dokter China Mengaku Ikut Terinfeksi
Sebagai ahli toksikologi satu-satunya di Indonesia, dr. Tri Maharani mengetahui jenis ular tersebut, yang diidentifikasi sebagai jenis daboia ruselli. Jenis langka yang hanya hidup di beberapa wilayah di Indonesia. Di antaranya Gresik, Surabaya, Jawa Timue dan beberapa tempat di Pulau Flores.
"Setelah menerima telepon, saya langsung mengejarnya karena saya tahu betapa berat toksinnya, sedangkan antivenom cuma ada Sabu Biosave Indonesia yang tidak bisa dipakai untuk jenis racun ular seperti ini," katanya, seperti dikutip dari Antara.
"Tujuan ke Bangkok adalah untuk membeli antivenom monovalen daboia rusell siamensis, dengan tentu berkonsultasi terlebih dahulu dengan pakar di Thailand drh Taksa Vasaparuchong," tambahnya.
Harus bermalam di bandara
Dia mengatakan berangkat ke Bangkok pada 17 Januari, namun di sana hanya beberapa jam saja. Ia pun kembali ke Jakarta kemudian Suarabaya, lalu lanjut ke Kupang dan Lembata.
Baca Juga: Berwajah Nenek-Nenek, Dokter Potong Kulit Berlebih Remaja 15 Tahun Ini
"Saya tiba di Kupang pada 18 Januari di malam hari, dan saya terpaksa menginap dan tidur di lantai Bandara El Tari Kupang menunggu penerbangan keesokan harinya," katanya.
Ia mengaku bahwa bantuan yang ia perolehdari beberapa rekan hanya cukup untuk membeli sembilan vial antivenom, enam daboia monivalen dan tiga green pit viper monovalen.
Setelah tiba di Lembata, Tri Maharani segera menuju rumah sakit dan langsung memberikan antivenom itu dua butir kepada pasien. Bersama petugas medis, mereka menunggu semalaman di rumah sakit Lembata untuk mengikuti perkembangan pasien.
Keesokan paginya, kondisi pasien mulai berangsur-angsur membaik. Tri Maharani kemudian memutuskan menambah dosis untuk diberikan kepada pasien.
Sebelum kembali ke Suarabaya, Tri Maharani pun mengumpulkan seluruh tenaga medis di Lembata bersama Direktur RS Lembata dan Kadinker Lembata untuk mengadakan pelatihan penanganan gigitan ular.
Dia berharap setelah adanya kasus ini, perlu disiapkan antibisa ular langka di Labuan Bajo, Ende dan Lembata karena tioxin jenis ular ini sangat ganas.