Suara.com - Berdasarkan data pemerintah Indonesia, jumlah orang dengan disabilitas psikososial atau kondisi kesehatan mental yang dipasung atau dikurung dalam ruang tertutup pada Juli 2018 mencapai 12.800 kasus. Jumlah ini berkurang dari yang sebelumnya hampir mencapai 18.800 kasus pasung.
Perubahan ini sebagian didorong oleh adanya upaya penjangkauan masyarakat ke lebih dari 16,2 juta keluarga.
Padahal, praktik pasung seperti ini sudah dilarang oleh pemerintah sejak 1977. Menurut Human Rights Watch, penyebabnya adalah adanya stigma serta kurangnya layanan pendukung berbasis komunitas atau layanan kesehatan mental.
Pakar Kesehatan Jiwa Universitas Gadjah Mada, Carla Raymondalexas Machira, akui untuk menangani pasien dengan gangguan jiwa memang tidak mudah, terutama bagi keluarga.
Baca Juga: Selain Kanker Ginjal, Vidi Aldiano Juga Punya Gangguan Mental
Meski begitu, Carla menekankan untuk tetap mencari pertolongan tenaga profesional agar pasien tidak sering kambuh.
"Carilah pertolongan, kalau bisa BPJS, itu untuk finansialnya. Yang kedua adalah temui profesional. Jadi, jangan malu," kata Carla saat ditemui Suara.com di Gedung KPTU FK-KMK UGM.
Bagaimana pun, kata Carla, pengidap gangguan jiwa harus tetap mengonsumsi obat untuk mengurangi gejalanya.
"Jelas dia harus tetap minum obat, untuk gangguan jiwa berat. Mereka juga harus diawasi keluarga. Enggak bisa mereka (menangani diri sendiri)," lanjut Carla.
Carla menambahkan, meski mengalami gangguan jiwa, pasien akan tetap mengerti akan rasa kasih sayang yang diterimanya dari anggota keluarga.
Baca Juga: Jurnalis Harus Lakukan Ini Agar tak Alami Gangguan Mental
"Jadi kasih sayang itu perlu, mereka tahu, kok, kalau disayang. Sesekali mengamuk itu pasti, tapi dengan kontrol teratur, minum obat teratur, dengan kasih sayang, kesabaran, itu yang seharusnya dilakukan keluarga," imbuhnya.
"Sebenarnya, untuk menangani seseorang dengan gangguan jiwa berat tidak hanya berfokus pada pasiennya saja, tetapi juga pada keluarga mereka agar tetap kuat," tutur Carla. Oleh karena itu, para dokter akan selalu menawarkan pengobatan suntikan jangka panjang.
"Kita sering mengatakan kepada keluarga, 'kalau sulit orang dengan gangguan jiwa minum obat, ada kok alternatif dengan suntikan jangka panjang'," ujarnya.
Tujuan dari suntikan ini adalah agar pasien tidak harus melakukan pemeriksaan terlalu sering atau mengonsumsi obat setiap hari. Sehingga penderita tidak harus minum obat tiap hari atau kontrol setiap minggu, bisa dua minggu atau sebulan sekali. Namun tetap harus dalam pengawasan, tidak dapat dilepaskan begitu saja.